Nasional
17 Maret, 2025 17:03 WIB
Penulis:Chrisna Chanis Cara
Editor:Chrisna Chanis Cara
JAKARTA— Penunjukan Letnan Kolonel (Letkol) TNI Teddy Indra Wijaya sebagai Sekretaris Kabinet (Seskab) oleh Presiden Prabowo Subianto menjadi kontroversi yang masih menjadi buah bibir hingga saat ini. Penempatan Teddy menjadi Seskab serta kenaikan pangkat yang kilat dianggap kental nuansa politik ketimbang prestasi atau sistem merit.
Teddy pun didesak mundur dari dinas militer karena dianggap melanggar Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Dalam draf revisi UU TNI, prajurit aktif hanya boleh mengisi jabatan sipil di 15 kementerian atau lembaga. Sedangkan posisi Seskab tidak termasuk di dalamnya.
Di tengah polemik tentara aktif yang banyak menduduki jabatan sipil saat ini, kisah keteladanan Kolonel Bambang Widjanarko kembali tampil. Cerita seorang Kolonel KKO Marinir ini sempat mengguncang saat dia justru menolak kenaikan pangkat dari presiden yang notabene panglima tertinggi angkatan bersenjata.
Ya, tentara bernama lengkap Kolonel KKO (Purn.) Drs. Geraldus Bambang Setijono Widjanarko itu menampik kenaikan pangkat saat masih menjadi ajudan Presiden pertama RI, Soekarno. Bambang menjadi ajudan pribadi Bung Karno pada tahun 1960-1965.
Singkat cerita, Bambang pernah ditawari kenaikan pangkat menjadi Brigjen oleh Soekarno. Namun lelaki asal Kebumen itu menolak karena khawatir melanggar aturan dan menjadi bahan cemoohan. Hal ini sontak menjadi sorotan publik pada masanya. Bagi seorang tentara, naik pangkat adalah mimpi yang selalu dinantikan.
Dikutip dari bukunya, “Sewindu Dekat Bung Karno”, Kolonel Bambang Widjanarko sempat beberapa kali mendapat kesempatan mengikuti pendidikan di Sesko TNI. Bagi seorang perwira menengah, mendapatkan kesempatan masuk Sesko ibarat mendapat tiket untuk jadi perwira tinggi.
Bintang jenderal pun akan tersemat usai ikut Sesko. Bambang pun menyampaikan niatnya untuk masuk Sesko TNI pada Soekarno. Namun Presiden justru tidak mengizinkannya. Bung Karno kala itu malah memanggil petinggi TNI Angkatan Laut (AL) agar mencoret ajudannya dari pendidikan Sesko.
Beberapa kali Bambang mencoba masuk Sesko tapi kembali kandas. Soekarno beralasan masih membutuhkannya sebagai ajudan. Sampai pada satu saat, Bung Karno bertanya kenapa ajudannya itu sangat ingin masuk Sesko.
Bambang pun menjawab, bahwa masuk Sesko adalah proses baku bagi seorang perwira menengah untuk naik kelas jadi perwira tinggi. Dengan kata lain, Sesko ibarat tiket untuk menjadi jenderal. Mendengar hal itu, Bung Karno mengatakan dia bisa menaikkan pangkat ajudannya kapan saja dengan statusnya sebagai panglima tertinggi.
“Siapa bilang bahwa hanya lulusan Sesko yang bisa jadi jenderal? Yang mengangkat orang jadi jenderal adalah saya, Pangti ABRI. Kamu sekarang berpangkat Kolonel, nanti bulan Agustus saya naikkan pangkatmu jadi Brigjen,” ujar Bung Karno pada Bambang. “Menurut saya tanpa masuk Sesko, kamu memang telah pantas jadi Brigjen mengingat prestasi dan dedikasimu," imbuh Bung Karno.
Bukannya bahagia, Bambang justru langsung menolak tawaran tersebut. Dia pun menjelaskan pada Soekarno bahwa dia tak ingin menjadi bahan cemoohan karena naik pangkat dengan cara tak biasa. Bambang juga menyebut hal itu melanggar aturan baku di angkatan bersenjata.
Bung Karno pun kaget mendengar penjelasan Bambang. Namun Presiden akhirnya memahami posisi ajudannya tersebut. Beberapa saat usai peristiwa G30S PKI meletus, pimpinan TNI AL menawari Bambang masuk Sesko.
Baca Juga: Kontroversi Penunjukan Teddy Indra Wijaya sebagai Seskab
Namun saat itu justru Bambang yang menolak. Dia memilih tetap menjadi ajudan Bung Karno. Usai peristiwa berdarah di 1965, kekuasaan Soekarno memang terus melemah. Bambang tak ingin meninggalkan Bung Karno yang sedang menghadapi cobaan berat.
Pengamat politik dan militer Universitas Nasional, Selamat Ginting, mengatakan sikap Bambang Widjanarko menjadi keteladanan tersendiri di tengah praktik jalan pintas di dunia militer saat ini.
Selamat menilai Bambang mampu menempatkan diri serta tidak silau dengan kesempatan meraih pangkat instan. “Dia malu (naik pangkat) karena belum Sesko, nanti teman-temannya menertawakan,” ujar Selamat, dikutip dari YouTube Indonesia Lawyers Club.
Selamat lantas membandingkan karier Bambang Widjanarko dengan Teddy. Dia menilai kenaikan pangkat yang diterima Teddy terlalu cepat. Dia mengatakan teman-teman seangkatan Teddy saja baru menjadi mayor pada 1 April 2025 mendatang. “Karena untuk menjadi mayor paling cepat 14 tahun kalau sudah di kelapa dua. Kalau tidak, 16 tahun, 18 tahun. Jadi ada aturan,” ujarnya.
Jika merujuk regulasi, Selamat menyebut Teddy mestinya baru memenuhi syarat berpangkat letkol pada 2034. Hal itu merujuk kelulusan Teddy dari Akmil pada 2011 ditambah masa diklat dan sesko selama 23 tahun.
“Jangan kemudian Mabes TNI melabrak itu dan jangan takut-takut dengan Presiden Prabowo, sehingga tidak berani mengatakan no Sir! Lingkungan di sekitar Presiden Prabowo yang asal bapak senang itu menurut saya pelan-pelan harus disingkirkan,” tukasnya.
Bagikan
Nasional
dalam 4 jam