Sejumlah Bank Besar Buyback di Tengah Koreksi IHSG, Ini Jadwal dan Alokasi Dampaknya

19 Maret, 2025 15:17 WIB

Penulis:Idham Nur Indrajaya

Editor:Amirudin Zuhri

pos-credit-card-settlement-instead-cash-settlement-shopping.jpg
Ilustrasi bank. (Freepik)

JAKARTA - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami tekanan hebat hingga anjlok 6,12% pada perdagangan Selasa, 18 Maret 2025, menjadikannya indeks paling terpuruk di Asia. 

Dalam menghadapi volatilitas ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengambil langkah strategis dengan mengizinkan emiten melakukan pembelian kembali saham (buyback) tanpa perlu melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK, Inarno Djajadi, menegaskan bahwa kebijakan ini bertujuan memberikan fleksibilitas bagi perusahaan dalam merespons tekanan pasar. 

OJK berharap buyback tanpa RUPS memberi sinyal positif bahwa perusahaan memiliki fundamental yang baik, meningkatkan kepercayaan pasar, serta memberikan fleksibilitas bagi perusahaan dalam menghadapi kondisi pasar yang tidak menentu.

IHSG telah mengalami tren penurunan tajam sejak September 2024, dengan koreksi sebesar 1.682 poin atau turun 21,28%. Di tengah aksi jual besar-besaran ini, Bursa Efek Indonesia (BEI) bahkan memberlakukan trading halt pada pukul 11.19 WIB guna menjaga stabilitas pasar.

Daftar Bank yang Melakukan Buyback Saham 

Sejumlah bank besar telah mengumumkan rencana buyback saham dengan alokasi dana yang signifikan. Berikut daftar bank yang melakukan buyback beserta jumlah alokasi dana dan batas waktunya:

  1. PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) – Rp3 triliun (hingga 24 Maret 2025)
  2. PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) – Rp1,17 triliun (hingga 25 Maret 2025)
  3. PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) – Rp1,5 triliun (hingga 26 Maret 2025)
  4. PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA) – Rp450 juta (hingga 14 April 2025)
  5. PT Bank OCBC NISP Tbk (NISP) – Rp800 juta (hingga 20 Maret 2025)

Langkah buyback ini diharapkan dapat membantu menjaga stabilitas harga saham dan memberikan insentif bagi investor untuk tetap bertahan di pasar modal.

Strategi Buyback dalam Menghadapi Volatilitas Pasar 

Aksi buyback saham kerap dianggap sebagai strategi yang efektif di tengah volatilitas pasar. Dengan membeli kembali saham yang beredar, perusahaan dapat meningkatkan kepercayaan investor serta memberikan sinyal bahwa harga sahamnya saat ini berada di bawah nilai fundamentalnya.

Selain itu, buyback juga memiliki manfaat bagi kinerja keuangan perusahaan. Dengan berkurangnya jumlah saham yang beredar, laba per saham (EPS) berpotensi meningkat, yang pada akhirnya dapat memberikan dampak positif bagi pemegang saham dalam jangka panjang.

  • Baca Juga: Setelah Kebakaran di Sesi I, Saham Bank Memulih Meski Tetap Terkoreksi di Penutupan

Pasar Saham Global Menguat, IHSG Masih Tertekan 

Menariknya, meskipun IHSG mengalami tekanan besar, mayoritas indeks utama Asia justru mencatatkan kenaikan pada hari yang sama. Indeks Hang Seng di Hong Kong naik 2,14% ke 24.662, sementara Nikkei 225 di Jepang menguat 1,20% ke 37.845. 

Bursa global pun bergerak positif, dengan Dow Jones naik 0,85%, S&P 500 menguat 0,64%, dan FTSE di Inggris meningkat 0,56%.

Namun, meski pasar global dan regional menguat, IHSG tetap melemah. Sejumlah analis menilai aksi ambil untung besar-besaran, tekanan di sektor keuangan dan komoditas, serta sentimen negatif menjadi pemicu utama kejatuhan IHSG. 

Jika tidak ada katalis positif dalam waktu dekat, pasar saham Indonesia berisiko mengalami koreksi lebih dalam dalam jangka pendek.

Buyback Saham, Langkah Strategis di Tengah Ketidakpastian

Kebijakan buyback tanpa RUPS bukanlah hal baru. OJK sebelumnya pernah memberlakukan kebijakan serupa pada 2013, 2015, dan 2020 saat pandemi COVID-19 mengguncang pasar keuangan global. 

Dalam praktiknya, langkah ini dinilai mampu memberikan fleksibilitas bagi emiten dalam menstabilkan harga saham serta meningkatkan kepercayaan investor di tengah volatilitas tinggi.

Dengan kebijakan ini, para emiten, khususnya sektor perbankan, menunjukkan keyakinannya terhadap prospek bisnis mereka ke depan. 

Investor disarankan untuk tetap mencermati kebijakan moneter, pergerakan pasar global, serta sentimen domestik guna menentukan strategi investasi yang tepat di tengah kondisi pasar yang tidak menentu.