Featured
15 April, 2025 01:04 WIB
Penulis:Distika Safara Setianda
Editor:Amirudin Zuhri
JAKARTA – Di era digital ini, media sosial menjadi elemen tak terpisahkan dari kehidupan manusia, khususnya bagi para remaja. Platform media sosial seperti Instagram hingga TikTok menyediakan wadah untuk mengekspresikan diri, berbagi pengalaman, serta menjalin hubungan sosial.
Remaja termasuk dalam kelompok pengguna terbesar teknologi digital dalam kehidupan sehari-hari. Mereka memanfaatkannya untuk menonton dan membuat konten, berinteraksi dengan teman di media sosial, bersantai, belajar, serta menyelesaikan tugas sekolah.
Internet juga digunakan sebagai sarana untuk mencari dukungan terkait kesehatan fisik, emosional, dan kesejahteraan. Remaja juga kerap menjajal berbagai cara ekspresi diri melalui dunia online.
Meski memberikan banyak keuntungan, media sosial juga memiliki pengaruh besar dalam pembentukan citra dan identitas diri remaja, yang dapat menimbulkan berbagai dampak, baik positif maupun negatif.
Terdapat berbagai ancaman digital yang seringkali luput dari perhatian para remaja dan dapat membahayakan mereka. Ancaman tersebut meliputi malware, phishing, peretasan, doxing, pemalsuan identitas, pelecehan, hingga kekerasan berbasis gender secara online (KBGO).
Dalam workshop yang diselenggarakan AMSI dan Sejiwa dengan tema “Keamanan Digital bagi Remaja” beberapa waktu lalu, TikTok menyatakan komitmennya untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi remaja agar dapat berkreasi secara nyaman dan kreatif.
Komitmen tersebut diwujudkan melalui penerapan kebijakan batasan usia, penyediaan berbagai fitur keamanan bagi remaja dan orang tua, serta pelaksanaan kampanye proaktif bertajuk #SalingJaga.
Workshop yang dipandu Bendahara Umum AMSI Trijaya, Gaib Maruto Sigit. Acara menghadirkan sejumlah narasumber, yakni Communication Director TikTok Indonesia Anggini Setiawan, Pendiri Sejiwa Diena Haryana, serta Pemimpin Redaksi Republika, Andi Muhyiddin.
“Selama ini, TikTok sudah dan terus berusaha mewujudkan keamanan digital bagi remaja. Baik melalui algoritma dan sistem, di antaranya melalui kebijakan pembatasan usia, sumber daya dan fitur keamanan, serta kampanye proaktif dengan menggaungkan tagar #SalingJaga,” ujar Anggini.
Sebagai contoh, dalam kebijakan batas usia, TikTok melarang anak-anak di bawah usia 14 tahun untuk membuat akun. Platform ini juga melakukan pendeteksian usia pengguna saat proses pendaftaran awal. Selain itu, akun milik pengguna berusia 14-15 tahun secara otomatis akan diatur sebagai akun privat.
“Kami memahami bahwa remaja yang lebih muda membutuhkan lebih banyak kontrol dari orang tua. Oleh karena itu, kami memberikan batasan yang lebih ketat untuk pengguna usia 14-15 tahun,” ucap Anggini Setiawan.
Anggini juga menyampaikan sepanjang Januari hingga September 2024, TikTok telah menonaktifkan sebanyak 66.160.791 akun pengguna yang diduga berusia di bawah 13 tahun.
“Ini merupakan komitmen TikTok untuk melindungi keamanan digital, khususnya terhadap remaja. Tak hanya itu, kami juga memiliki fitur pelibatan keluarga, yang memberikan panduan bagi orang tua,” paparnya.
Selain itu, Pendiri Sejiwa Diena Haryana mengungkapkan salah satu ancaman yang cukup rentan dan banyak dialami oleh remaja di dunia digital adalah perundungan daring atau cyber bullying.
Ia menekankan pentingnya peran orang tua dalam memberikan literasi digital kepada anak-anak dan remaja. “Literasi digital bagi orangtua ini juga sangat penting, sehingga mereka bisa dan mampu memberikan pemahaman kepada anak-anaknya dalam pemanfataan ruang digital,” kata Diena.
Dalam hal itu, Diena membagi orang tua ke dalam tiga kategori.
Pertama, mereka yang memahami teknologi dan dunia digital, namun belum tentu menyadari pentingnya keamanan digital bagi anak. Kedua, orang tua yang memiliki keterampilan digital yang baik, tetapi kurang menerapkan pola asuh digital karena berbagai alasan, seperti enggan terganggu oleh anak.
Ketiga, orang tua yang tidak memiliki keterampilan digital sama sekali, baik karena keterbatasan perangkat maupun faktor lainnya, sehingga anak-anak cenderung dibiarkan bebas menjelajahi dunia digital tanpa pengawasan.
“Orang tua kami harapkan agar dapat memberikan pemahaman tentang screen time agar anak-anak dapat menggunakan media sosial dengan bijak.” tegasnya.
Diena mengatakan kasus cyber bullying terhadap anak dan remaja sangat rentan terjadi. Salah satu masalah utama adalah banyak anak enggan mengungkapkan mereka menjadi korban, karena khawatir perlakuan buruk tersebut akan semakin memburuk.
“Itulah mengapa sangat penting bagi orang tua untuk mengenali tanda-tanda peringatan cyber bullying,” katanya.
Ia juga membagikan beberapa kiat kepada orang tua dalam menjaga keamanan digital anak-anak mereka. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan fitur kontrol orang tua untuk membatasi akses terhadap aplikasi dan konten tertentu.
Misalnya, kontrol ini memungkinkan orang tua mengatur aplikasi apa saja yang bisa diakses anak atau situs web mana yang boleh dikunjungi, sehingga aktivitas daring anak dapat lebih terpantau.
Sementara itu, Andi Muhyiddin menggambarkan dunia digital, terutama media sosial, sebagai hutan belantara yang penuh risiko, yang membuat pendampingan orang tua sangat penting bagi anak-anak saat menjelajahinya.
Dia mengutip data Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), jumlah kekerasan berbasis gender online mengalami peningkatan drastis pada tahun 2024. Selama kuartal pertama tahun tersebut, tercatat sebanyak 480 kasus, hampir empat kali lebih banyak dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya berjumlah 118 kasus.
Kelompok korban terbanyak adalah remaja dan anak muda berusia 18–25 tahun, dengan jumlah 272 kasus atau sekitar 57%, disusul oleh anak-anak di bawah usia 18 tahun sebanyak 123 kasus atau sekitar 26%.
“Korban terbanyak KBGO ini adalah anak-anak dan remaja berusia 18 sampai 25 tahun, dengan 272 kasus atau 57%, diikuti oleh anak-anak di bawah 18 tahun dengan 123 kasus atau 26%,” ungkap dia.
Menurut Andi, peran orang tua dalam menjaga keseimbangan antara aktivitas online dan offline anak-anak mereka merupakan langkah penting dalam upaya pencegahan.
Orang tua juga perlu membangun komunikasi dengan anak di luar dunia digital. Mereka harus mengajak anak untuk berdiskusi mengenai pengalaman mereka saat menggunakan media sosial, serta memantau pengaturan privasi dan keamanan akun media sosial yang dimiliki anak.
Bagikan