logo
Ikuti Kami di:

Sejarah Hari Kartini yang Selalu Diperingati Setiap 21 April

Sejarah Hari Kartini yang Selalu Diperingati Setiap 21 April
Raden Ajeng Kartini.
Distika Safara Setianda18 April, 2025 07:00 WIB

JAKARTA – Hari Kartini akan jatuh pada Senin, 21 April 2025. Hari Kartini diperingati setiap tanggal 21 April oleh seluruh rakyat Indonesia sejak tahun 1964. Peringatan ini adalah wujud penghargaan terhadap Raden Ajeng Kartini, yang dianggap sebagai pelopor emansipasi wanita di Indonesia.

Peringatan ini bertujuan untuk memperingati dan menghormati perjuangan RA Kartini dalam memperjuangkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, khususnya dalam bidang pendidikan, serta secara umum memperjuangkan kesetaraan gender di berbagai aspek kehidupan.

Dilansir dari spn.or.id, peringatan Hari Kartini juga memiliki makna penting tentang emansipasi perempuan dan menjadi pengingat bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk terus berkomitmen memperjuangkan kesetaraan gender.

Penetapan tanggal 21 April sebagai Hari Kartini didasarkan pada Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 1964 yang ditandatangani pada 2 Mei 1964.

Keputusan tersebut menetapkan RA Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional serta menjadikan 21 April sebagai Hari Kartini. Hal ini mengingat jasa-jasa RA Kartini sebagai tokoh bangsa di masa lampau dalam memperjuangkan kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan.

Mengenal Sosok Kartini

Dilansir dari Kemdikbud, Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat atau lebih dikenal sebagai RA Kartini, lahir di Jepara pada 21 April 1879 dari keluarga bangsawan. Ia adalah putri dari Bupati Jepara saat itu, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, dan M.A. Ngasirah.

Kartini adalah anak dari istri pertama, namun bukan istri utama. Ibunya, M.A. Ngasirah, adalah putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara.

Kartini adalah anak kelima dari sebelas saudara kandung dan tiri. Di antara saudara-saudara sekandungnya, Kartini merupakan anak perempuan tertua.

Sebagai keturunan bangsawan, Kartini memiliki hak istimewa untuk menempuh pendidikan di Europesche Lagere School (ELS), yang setara dengan jenjang Sekolah Dasar (SD).

Saat itu, tidak semua anak pribumi memiliki kesempatan yang sama. Hanya anak-anak dari keluarga pejabat pemerintah yang diperbolehkan bersekolah di ELS.

Di tempat ini, Kartini belajar bahasa Belanda. Namun, setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah saatnya dipingit.

Setelah itu, Kartini lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Ia mulai mengumpulkan buku-buku pelajaran dan pengetahuan yang ia baca di taman rumah.

Kartini menjadi sangat gemar membaca dan sering berdiskusi dengan ayahnya. Ia tertarik pada perkembangan pemikiran perempuan Eropa (Belanda), yang pada waktu itu masih menjajah Indonesia.

Dari sana, muncul keinginan dalam diri Kartini untuk meningkatkan kehidupan perempuan Indonesia. Baginya, perempuan tidak hanya di dapur, tetapi juga harus memiliki ilmu.

Kartini tumbuh di tengah masa penjajahan, ketika perempuan belum memiliki hak yang setara dengan laki-laki. Pada masa itu, norma dan adat yang berlaku di sekitarnya tidak memberi ruang bagi perempuan, khususnya perempuan pribumi, untuk mendapatkan pendidikan yang layak.

Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, Kartini mulai belajar secara mandiri di rumah dan menulis surat kepada teman-teman korespondensinya di Belanda, salah satunya Rosa Abendanon yang banyak memberinya dukungan.

Melalui buku-buku, surat kabar, dan majalah Eropa, Kartini tertarik dengan perkembangan pemikiran perempuan di Eropa. Hal ini mendorongnya untuk memperjuangkan kemajuan perempuan pribumi, karena ia menyadari perempuan pribumi berada pada posisi sosial yang sangat rendah.

Kartini pernah mengajukan permohonan kepada Mr. J.H. Abendanon agar diberikan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di Belanda. Namun, beasiswa tersebut tidak sempat ia manfaatkan karena pada 12 November 1903, ia menikah dengan Raden Adipati Joyodiningrat, seorang pria yang sebelumnya telah menikah sebanyak tiga kali.

Meski telah menikah, Kartini tetap melanjutkan perjuangannya dalam mewujudkan emansipasi perempuan. Ia mendirikan sebuah sekolah untuk kaum perempuan dengan dukungan penuh dari suaminya, Raden Adipati Joyodiningrat.

Sekolah wanita tersebut terletak di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.

Pembangunan sekolah tersebut bertujuan agar Kartini dapat memberikan pendidikan dan pengetahuan kepada perempuan pribumi.

Sayangnya, Kartini meninggal dunia hanya beberapa hari setelah melahirkan putra pertamanya yang diberi nama Soesalit Djojoadhiningrat pada 13 September 1904. Ia tutup usia dan dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.

Setelah Kartini meninggal, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda, Mr. J.H. Abendanon, membukukan surat menyurat Kartini dengan sahabat-sahabatnya di Eropa dalam sebuah buku berjudul Door Duisternis tot Licht yang berarti Habis Gelap Terbitlah Terang.

Buku itu membawa perubahan pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa. Sejak saat itu, isu kesetaraan gender bagi perempuan mulai diterima dan tidak lagi dianggap sebagai hal yang tabu.