Korporasi
19 Maret, 2025 21:01 WIB
Penulis:Alvin Pasza Bagaskara
Editor:Amirudin Zuhri
JAKARTA – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terperosok lebih dari 6% pada sesi perdagangan pertama, Selasa, 18 Maret 2025, mengingatkan pada krisis besar yang melanda pasar Indonesia pada 1998, 2008, dan 2020.
Uniknya, hanya indeks composite yang terjun bebas, sementara indeks bursa Asia lainnya justru melejit ke zona hijau. Kejatuhan ini memicu ketidakpastian yang menghantui pasar saham dan menciptakan kekhawatiran di kalangan investor.
Untuk mengatasi gejolak, Bursa Efek Indonesia, sempat mengeluarkan trading halt yang menghentikan sementara perdagangan saham. Dalam situasi penuh ketidakpastian ini, beberapa saham perlu diwaspadai, sementara yang lainnya bisa menjadi peluang bagi investor.
Pasar saham Indonesia pernah terjungkal pada 8 Januari 1998, ketika IHSG jatuh 11,88% ke level 347,1. Kejatuhan ini terjadi di tengah krisis moneter Asia yang mengakibatkan rupiah anjlok terhadap dolar AS, sektor perbankan kolaps, dan banyak perusahaan besar bangkrut akibat utang luar negeri yang membengkak drastis.
Selanjutnya, pada 8 Oktober 2008, IHSG kembali terpuruk 10,38% atau 168 poin ke level 1.451. Krisis keuangan global yang disebabkan oleh krisis subprime mortgage di Amerika Serikat mengguncang pasar dunia, memicu kepanikan besar-besaran, dan mencatat hari itu sebagai Black Wednesday.
Pada 9 Maret 2020, pandemi COVID-19 turut memberikan dampak serupa. IHSG turun 6,58% ke 5.136,81. Kepanikan yang terjadi bahkan menyebabkan trading halt tujuh kali dalam beberapa pekan, dengan titik terendah tercatat pada 24 Maret 2020 di level 3.937, turun 37% dari awal tahun.
Kini, dengan IHSG kembali jatuh tajam, banyak investor bertanya-tanya apakah 2025 akan menjadi tahun kelam lainnya dalam sejarah pasar saham Indonesia. Lalu, apa yang harus dilakukan oleh investor menyikapi dinamika pasar ini.
Ekonom Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga, Imron Suwardi, menyebutkan bahwa penurunan tajam kali ini dipicu oleh kombinasi faktor global dan domestik. Kebijakan perdagangan Amerika Serikat, khususnya di bawah kepemimpinan Donald Trump, kembali memberikan tekanan terhadap perekonomian negara berkembang, termasuk Indonesia.
Faktor domestik juga memperburuk keadaan, seperti kasus korupsi di Pertamina dan kebijakan pembentukan Danantara yang menciptakan ketidakpastian di pasar. “Akibatnya, IHSG merosot ke level 6.400, membuat banyak saham tertekan dalam beberapa hari terakhir,” jelasnya dalam keterangannya pada Rabu, 19 Maret 2025.
Dalam situasi penuh ketidakpastian ini, Imron mengungkapkan bahwa sektor makanan & minuman, komoditas, dan pertambangan merupakan sektor yang paling rentan. “Misalnya, saham PT Bukit Asam Tbk (PTBA) anjlok 7,72% dalam enam bulan terakhir, tertekan oleh ketidakpastian pasar," jelasnya.
Namun, di sisi lain, sektor perbankan dinilai lebih stabil dan bisa menjadi pilihan aman bagi investor. “Saham-saham perbankan dengan fundamental yang lebih kuat dipandang mampu bertahan lebih baik dalam situasi volatilitas tinggi ini, menawarkan potensi investasi yang lebih aman,” tandasnya.
Sementara itu, Ekonom Celios Bhima Yudhistira menilai penurunan IHSG disebabkan oleh kurangnya kepercayaan terhadap pemerintah, yang semakin terasa dalam beberapa waktu terakhir. "Trust kita terhadap pemerintah, terhadap kebijakan publik, itu bisa dikatakan minus saat ini," katanya lewat diskusi daring di media sosial X, pada Selasa, 18 Maret 2025.
Selain itu, penyebab penurunan IHSG adalah meningkatnya peran militer di era Presiden Prabowo Subianto melalui Revisi UU TNI, termasuk pelibatan program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan food estate di Merauke.
Bhima menyebutkan, pelibatan TNI dalam sektor sipil menimbulkan keraguan terhadap masa depan ekonomi Indonesia, terutama ketika fokus pemerintah lebih pada pertahanan ketimbang sektor ekonomi. "Ini yang enggak matching, mau ke arah mana sebenarnya dari sisi pemerintahan?" tambahnya.
Bagikan
Korporasi
dalam 4 jam
Bursa Saham
11 jam yang lalu