Nasional
12 Maret, 2025 15:31 WIB
Penulis:Chrisna Chanis Cara
Editor:Chrisna Chanis Cara
JAKARTA—Peluncuran Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih di pelosok desa mulai Juli 2025 menjadi tantangan tersendiri bagi Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Sejumlah pihak menilai eksistensi BUMDes bisa terancam dengan kehadiran Kopdes yang menjangkau hingga 75 ribu desa di Indonesia.
Di sisi lain, pemerintah menampik Kopdes Merah Putih bakal mematikan BUMDes. Diketahui, setiap desa akan dikucuri pinjaman Rp3 miliar hingga Rp5 miliar untuk pembangunan atau pengembangan Kopdes Merah Putih. Dana itu untuk mendirikan gerai sembako, apotek desa, unit simpan pinjam, klinik desa, cold storage hingga distribusi logistik.
Bank BUMN ditunjuk pemerintah untuk memberikan modal awal bagi koperasi. Nantinya, Kopdes bakal mengembalikan pinjaman tersebut dalam jangka lima tahun melalui dana desa. Hal ini kemudian menjadi pertanyaan mengingat sebagian dana desa selama ini dialokasikan untuk menunjang operasional BUMDes.
Informasi yang dihimpun TrenAsia.com, sejumlah pemerintah desa telanjur mengalokasikan sebagian dana desanya untuk program ketahanan pangan BUMDes. Ada pula yang dialokasikan untuk operasional BUMDes lain, menyesuaikan kebutuhan desa.
Menanggapi hal ini, Menteri Koperasi (Menkop), Budi Arie Setiadi, memastikan BUMDes bakal tetap eksis di pemerintahan Prabowo. Budi mengatakan Kopdes tidak dalam posisi menggantikan peran BUMDes.
Pihaknya mengklaim kehadiran Kopdes Merah Putih justru akan menjadi pelengkap upaya pemerintah untuk mempercepat pembangunan perekonomian di desa. “BUMDes kami pastikan masih tetap ada. Kopdes ini menjadi semangat baru karena skemanya baru, terutama dari segi model bisnis,” ujar Menkop, dikutip dari Antara, Rabu, 12 Maret 2025.
Lalu bagaimana sebenarnya kondisi BUMDes di Indonesia saat ini? Sejak diluncurkan sekitar 10 tahun lalu seiring berlakunya UU Desa, kinerja BUMDes bisa dibilang jalan di tempat.
Tak kurang anggaran Rp507 triliun dikucurkan pemerintah untuk dana desa pada periode 2016 hingga 2023. Dana desa menjadi sumber utama penerimaan desa dengan kontribusi sekitar 56% dari total penerimaan desa.
Sebagian dana desa tersebut dialokasikan untuk BUMDes. Di sejumlah daerah, anggaran BUMDes bahkan bisa menyedot hampir 80% dana desa. Namun efek operasional BUMDes untuk mendongkrak pendapatan desa faktanya masih minim.
Pada periode yang sama, kontribusi pendapatan asli desa terhadap total penerimaan penerimaan desa hanya berkisar 2-4%. Hal ini menjadi parameter bahwa investasi pusat berupa dana desa belum dapat memberikan hasil sepadan untuk mewujudkan desa yang mandiri.
Sepak terjang BUMDes juga disorot dari segi keaktifan. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menyebutkan BUMDes yang aktif baru tercatat sebesar 75,8% dari total sekitar 66 ribu BUMDes yang tersebar di seluruh Indonesia.
Artinya, masih ada belasan ribu BUMDes di Indonesia yang tidak aktif. Deputi Kepala BPKP Bidang Akuntan Negara, Sally Salamah, mengingatkan pendirian BUMDes di suatu desa harus memiliki tujuan yang jelas sehingga dapat terjaga keberlanjutannya.
“BUMDes yang tidak aktif ini sudah diberikan penyertaan modal dari desa, tapi tidak bergerak, tidak bisa tumbuh, tidak bisa mengaktifkan atau meningkatkan perekonomian desanya yang bersangkutan,” ujar Sally, dikutip dari Antara.
Anggota Komisi V DPR RI, Hamka B. Kady, turut menyoroti manajemen pengelolaan BUMDes yang menurutnya harus dibenahi total. Ini karena BUMDes memiliki tanggungjawab besar dalam mengelola keuangan bersumber dari negara. “Hampir semua BUMDes perlu dievaluasi, dievaluasi total terkait manajemen pengelolaannya,” ujar Hamka, dikutip dari dpr.go.id.
Hamka juga menyampaikan keprihatinannya terhadap alokasi dana desa yang banyak diarahkan untuk modal BUMDes. Dia mengaku khawatir apabila hampir 80% dana desa masuk di modal BUMDes.
“Padahal dana desa sebenarnya bukan semata-mata untuk BUMDes. Dana desa itu bisa untuk kepentingan infrastruktur desa dan kesejahteraan masyarakat di desa dengan menggerakkan ekonomi,” jelas politikus Golkar tersebut.
Sementara itu, CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat (Inkur), Suroto, menilai BUMDes telah diberikan masa inkubasi yang cukup lama dan layak untuk dievaluasi. “Sudah 10 tahun lebih BUMDes dibentuk, banyak uang negara, uang rakyat yang diinvestasikan. Namun dampaknya dengan biaya yang dikeluarkan belum terlihat efektif,” ujar Suroto dalam keterangannya pada TrenAsia.com belum lama ini.
Baca Juga: Talangi Kopdes Merah Putih, Bank BUMN Butuh Rp375 Triliun
Meski demikian, Suroto meminta kehadiran Kopdes Merah Putih tidak diglorifikasi sebagai solusi mujarab atas masalah perekonomian masyarakat desa. Dia menyebut Indonesia mestinya belajar dari kegagalan Koperasi Unit Desa (KUD). “Koperasi yang hidupnya masih dalam pola dukungan kebijakan akan menjadi rapuh. Pada akhirnya gagal karena hanya jadi mainan para makelar proyek,” ujar Suroto.
Dia mengingatkan masalah kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, peningkatan kesejahteraan itu masalah masalah makro. “Tidak bisa dibebankan kepada lembaga baru yang masih dalam tataran ide semacam koperasi desa.”
Suroto tak menampik upaya penghapusan kemiskinan dapat dikembangkan melalui koperasi, termasuk Kopdes. Namun yang terpenting menurutnya adalah menciptakan kebijakan yang mengurangi ketimpangan sosial-ekonomi. “Perlu transformasi besar ekonomi agar kekayaan dan pendapatan negara terdistribusi dengan adil ke masyarakat,” ujarnya,
Bagikan
Energi
dalam 4 jam