Makroekonomi
05 April, 2025 14:00 WIB
Penulis:Muhammad Imam Hatami
Editor:Chrisna Chanis Cara
JAKARTA - Pemerintah tengah menyiapkan langkah diplomasi intensif sebagai respons atas keputusan Amerika Serikat yang akan menetapkan bea masuk sebesar 32% terhadap sejumlah produk ekspor unggulan asal Indonesia.
Kebijakan proteksionis Amerika Serikat tersebut diumumkan Presiden Donald Trump bertepatan dengan peringatan “Hari Pembebasan” dan dijadwalkan mulai berlaku efektif pada 9 April 2025.
Langkah tarif tinggi ini dinilai berpotensi memukul industri padat karya di Indonesia, terutama di sektor tekstil dan furnitur yang menjadi tumpuan ekspor ke pasar AS.
Tiga sektor yang diperkirakan akan terdampak paling besar adalah pakaian dan aksesorinya berbahan rajutan (HS 61), pakaian dan aksesorinya bukan rajutan (HS 62), serta furnitur dan perabotan rumah tangga (HS 94).
Total ekspor Indonesia untuk ketiga komoditas ini ke Amerika Serikat mencapai US$6 miliar pada tahun 2024 saja, dan secara kumulatif mencapai US$30,4 miliar dalam periode 2020 hingga 2024.
Ketergantungan Indonesia terhadap pasar Amerika pun cukup tinggi, dengan pangsa ekspor ke AS untuk pakaian rajutan mencapai 60,5%, bukan rajutan 50,5%, dan furnitur sebesar 58,2% dari total ekspor global masing-masing produk tersebut.
Langkah AS tersebut memicu kekhawatiran serius terhadap keberlangsungan industri padat karya yang menyerap lebih dari 3 juta tenaga kerja di Indonesia.
“Jadi kalau pengiriman ke Amerika Serikat terhambat gara-gara tarif, ekspor komoditas-komoditas tersebut bisa terganggu atau bahkan mungkin tumbang. “Sebab lebih dari separuh produk-produk tersebut diserap oleh pasar Amerika,” jelas Direktur Eksekutif NEXT Indonesia Center, ujar Christiantoko, kala memberikan keterangan pers di Jakarta, dikutip Sabtu, 5 April 2025.
Jika ekspor ke AS terganggu akibat lonjakan tarif, bukan tidak mungkin akan terjadi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran, terutama di kawasan industri utama seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Yogyakarta.
Selain tekstil dan furnitur, produk olahan makanan laut seperti daging ikan, krustasea, dan moluska juga terancam karena Amerika Serikat menyerap sekitar 60,2% dari total ekspor komoditas ini, senilai US$4,3 miliar dalam lima tahun terakhir.
Di sisi lain, produk dengan nilai ekspor tinggi seperti mesin dan perlengkapan elektrik (HS 85) juga masuk dalam radar kebijakan perdagangan AS, meskipun dampaknya diperkirakan lebih kecil karena hanya sekitar 22,6% dari total ekspor produk tersebut yang ditujukan ke pasar AS.
Pada tahun 2024, nilai ekspor Indonesia untuk produk ini mencapai US$4,2 miliar, sementara dalam lima tahun terakhir tercatat US$14,7 miliar.
Menanggapi kebijakan tersebut, Christiantoko berpendapat pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perdagangan dan Kementerian Luar Negeri harus segera mempersiapkan upaya diplomasi bilateral melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Washington, D.C.
Tujuannya untuk mencegah pemberlakuan tarif tinggi tersebut atau setidaknya menegosiasikan keringanan tarif bagi produk-produk Indonesia.
“Jangan sampai terlambat. Saatnya untuk diplomasi segera,” tambah Christiantoko.
Pemerintah juga mencermati posisi strategis Amerika Serikat sebagai mitra dagang utama Indonesia setelah China. Sejak 1998, neraca perdagangan Indonesia dengan AS selalu mencatatkan surplus, termasuk pada tahun 2024.
Menyadari pentingnya pasar AS, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian disebut akan menggelar rapat koordinasi lintas kementerian dalam waktu dekat untuk menyusun langkah mitigasi.
Beberapa opsi yang sedang dikaji antara lain pembukaan pasar ekspor alternatif, pemberian insentif untuk sektor terdampak, hingga strategi hilirisasi industri dalam negeri agar lebih tahan terhadap tekanan eksternal.
Bagikan
Makroekonomi
dalam 7 jam
Makroekonomi
20 menit yang lalu
Makroekonomi
20 jam yang lalu