Kolom
21 Maret, 2025 07:02 WIB
Penulis:Andi Reza Rohadian
Editor:Ananda Astridianka
Perekonomian nasional sedang tidak baik-baik saja. Hal itu tercermin dari realisasi penerimaan perpajakan hingga akhir Februari 2025 mencapai Rp 240,4 triliun atau 9,7 persen dari target tahunan. Dari jumlah tersebut, penerimaan pajak hanya Rp 187,8 triliun atau 8,4 persen dari target, turun 30,19 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 269,02 triliun.
Apa boleh buat, selama dua bulan pertama 2025, ekonomi nasional memang mengalami perlambatan, yang berdampak pada terhadap daya beli masyarakat dan aktivitas usaha.
Untuk menambal kekurangan penerimaan pajak, Kementerian Keuangan lantas memburu 2.000 wajib pajak agar melaksanakan kewajibannya. Terdiri dari wajib pajak (WP) perorangan dan WP badan, mereka sudah diidentifikasi, kemudian akan dianalisis, dilakukan pengawasan, pemeriksaan, penagihan dan intelijen.
Tapi sebelum bertindak all out demi mengejar target, sebaiknya Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak membenahi perilaku aparaturnya yang kerap bermain-main dengan uang rakyat.
Di tengah maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK), melemahnya daya beli masyarakat , mengemuka kabar yang sungguh menyakiti hati rakyat. Mantan Kepala Kantor Wilayah Ditjen Pajak Khusus (2015-2018) Muhammad Haniv awal Maret lalu diperiksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dia telah ditetapkan sebagai tersangka pidana korupsi gratifikasi.
Haniv diduga menggunakan jabatannya untuk meminta sejumlah uang kepada beberapa pihak. Dalam mencari sponsor untuk keperluan bisnis fesyen anaknya, ia menggunakan jabatan dan jejaringnya.
Singkat cerita, Haniv yang pernah mengepalai Kanwil Ditjen Pajak Banten (2011-2015) berhasil mengumpulkan dana sebesar Rp 804 juta. KPK juga mengungkap Haniv turut menerima uang lainnya senilai belasan miliar rupiah selama menjabat. Nilai gratifikasinya Rp 21,5 miliar.
Seperti kata ungkapan Inggris, tak ada makan siang gratis. Patut diduga Haniv menebar janji-janji yang menguntungkan kepentingan perpajakan WP jejaringnya. Ini juga harus dikejar olek KPK. Harus ditelisik imbalan apa yang diterima para WP atas kesediaan mereka membantu Haniv.
Sebagai informasi, gaji Kakanwil Pajak berkisar Rp3.173.100-Rp5.661.700. Sebagai pejabat eselon II dia memperoleh tunjangan kinerja
sebesar Rp56.780.000-Rp81.940.000.
Bandingkan dengan pendapat per kapita rata-rata penduduk Indonesia tahun 2024 yang mencapai US$4.960,33 atau setara dengan Rp78,62 juta. Jadi rata-rata pendapatan rakyat Indonesia sekitar Rp6,5 juta per bulan.
Di saat negara butuh pemasukan, aparat hukum harus lebih serius mengejar uang negara yang menguap di tangan pejabat pajak. Sebab, dari kasus-kasus penyelewengan pajak terdahulu, tak ada ceritanya aparat penegak hukum menindaklanjuti para WP yang berkontribusi pada tindakan kriminal yang dilakukan pejabat pajak.
Sebelum kasus Haniv, ada sejumlah kasus manipulasi yang dilakukan sejumlah pajak. Dari yang melibatkan tiga pegawai Kantor Pajak Pratama Palembang, Rafael Alun, Angin Prayitno (bekas Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Ditjen Pajak) Handang Soekarno (bekas Kepala Subdirektorat Bukti Permulaan Ditjen Pajak yang ditangkap KPK pada akhir 2016) Gayus Tambunan, Dhana Widyatmika, Bahasyim Asyifi hingga mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo.
Terungkapnya kasus di Palembang berawal dari penangkapan tiga pegawai Kantor Pajak Pratama Palembang, Sumatera Selatan, 6 November 2023. Mereka diduga menerima suap terkait pemenuhan kewajiban pajak di beberapa perusahaan pada 2019-2021.
Tiga tersangka itu adalah Rangga Fredy Ginanjar, Natalia Wulan Purnamasari, dan Rizki Faris Harjito yang merupakan pegawai negeri sipil (PNS) di KPP Palembang.
Modus yang mereka lakukan adalah mengurangi nilai pajak yang seharusnya dibayarkan perusahaan-perusahaan bermasalah kepada negara. Atas jasa jahat itu, mereka mengeruk imbalan dari PT Heva Petroleum Energi, Direktur Utama PT Lematang Enim Energi dan Direktur Utama PT Inti Dwi Tama.
Nilai kerugian pada pendapatan negara atas perbuatan ketiga tersangka dalam tindak pidana pajak tersebut mencapai Rp525 juta. Sanksi pidana yang dijatuhkan bagi tiga terdakwa pada November 2024 berkisar 1-3 tahun penjara.
Awal 2023 mencuat nama Rafael Alun Trisambodo, bekas pejabat eselon III Ditjen Pajak, yang diduga menerima gratifikasi Rp 16,6 miliar. Ia juga diduga melakukan pencucian uang dalam bentuk berbagai macam aset yang nilainya lebih dari Rp 58 miliar.
Sebelum kasus Rafael Alun, ada perkara yang melibatkan Angin Prayitno, bekas Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Ditjen Pajak. Dia ditangkap KPK pada medio 2021 karena menerima gratifikasi sebesar Rp 44,1 miliar dari 10 perusahaan dalam kurun 2014-2019.
Adapun Handang adalah bekas Kepala Subdirektorat Bukti Permulaan Ditjen Pajak yang ditangkap KPK pada akhir 2016. Ia menerima imbalan Rp 1,9 miliar dari Direktur PT EK Prima Indonesia untuk menghilangkan tagihan pajak senilai Rp 78,5 miliar.
Mundur lagi ke belakang, pada 2010 publik dikejutkan oleh kasus mafia pajak Gayus. Bekas pegawai negeri sipil di Ditjen Pajak itu punya kekayaan hingga Rp 100 miliar. Padahal, dengan status dia sebagai pegawai golongan IIIA, gajinya hanya Rp 12,1 juta per bulan.
Dalam persidangan, dia mengakui, kekayaannya tersebut berasal dari suap dan gratifikasi yang diberikan sejumlah perusahaan.
Awal 2023 mencuat nama Rafael Alun Trisambodo, bekas pejabat eselon III Ditjen Pajak, yang diduga menerima gratifikasi Rp 16,6 miliar. Ia juga diduga melakukan pencucian uang dalam bentuk berbagai macam aset yang nilainya lebih dari Rp 58 miliar.
Jauh sebelum itu, mantan kepala KPP Jakarta VII, KPP Koja dan KPP Palmerah Bahasyim Assifie sepanjang 2004-2010 kedapatan memiliki lalu lintas uang di rekening pribadinya sebesar Rp932 miliar. Selain itu ia memiliki rumah di Menteng senilai Rp 8,5 miliar.
Tahun 2014 Mahkamah Agung menghukum Bahasyim selama 12 tahun penjara. Yaitu 6 tahun untuk pencucian uang dan 6 tahun untuk korupsi. Selain itu, majelis hakim juga memerintahkan agar aset-aset Bahasyim, termasuk uang senilai Rp 64 miliar dirampas oleh negara.
Ada juga perkara yang melibatkan pegawai Ditjen Pajak, bernama Dhana Widyatmika. Tahun 2013 dia dihukum 10 tahun penjara atas perbuatannya menyulap utang pajak diskon PT Mutiara Virgo dari Rp 120 miliar menjadi Rp30 miliar.
Jauh sebelum perkara-perkara itu sesungguhnya ada kasus yang jauh lebih besar, melibatkan Dirjen Pajak Hadi Poernomo. Orang nomor satu Ditjen Pajak (periode 2002-2004) itu diduga mengubah telaah Direktur Pajak Penghasilan mengenai keberatan SKPN PPh BCA.
Surat keberatan pajak penghasilan 1999-2003 itu diajukan BCA pada 17 Juli 2003 terkait non-performing loan (NPL atau kredit bermasalah) senilai Rp 5,7 triliun kepada Direktur PPh Ditjen Pajak. Setelah penelaahan, diterbitkan surat pengantar risalah keberatan dari Direktur PPh pada 13 Maret 2004 kepada Dirjen Pajak dengan kesimpulan bahwa permohonan keberatan wajib pajak BCA ditolak.
Namun, satu hari sebelum jatuh tempo untuk memberikan keputusan final BCA, 18 Juli 2004, Hadi memerintahkan agar Direktur PPh mengubah kesimpulan, yaitu dari semula menyatakan menolak diganti menjadi menerima semua keberatan. Hadi kemudian mengeluarkan surat keputusan Dirjen Pajak yang memutuskan untuk menerima semua keberatan wajib pajak.
Buah dari keputusan itu, negara diduga mengalami kerugian sekitar Rp 375 miliar. Uang tersebut merupakan pajak yang seharusnya diterima negara dari BCA. Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan pun bergerak. Mereka menggelar audit investigasi. Hasil audit investigasi ini kemudian digunakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menetapkan Hadi sebagai tersangka.
Hadi membantah mendapatkan imbalan dari BCA atas penerimaan keberatan wajib pajak tersebut. Ia pun mengajukan praperadilan atas penetapan dirinya sebagai tersangka ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ia terus berjuang hingga level Peninjauan Kembali (PK). Pada tanggal 13 Agustus 2018, MA menyatakan objek sengketa yaitu Laporan Hasil Audit Investigasi Inspektorat Bidang Investigasi (LHA IBI) Itjen Nomor LAP-33/IJ.9/2010 tanggal 17 Juni 2010 tentang Dugaan Penyalahgunaan Wewenang oleh Pejabat/ Pegawai DJP dalam Proses Pemeriksaan dan Keberatan PT BCA, dinyatakan batal, tidak berlaku, cacat hukum dan tidak sah.
Putusan PK itu juga berarti, habisnya upaya hukum dari Itjen Kemenkeu, dan juga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mempergunakan LHA IBI tersebut sebagai alat bukti utama guna menjerat Hadi Poernomo dalam kasus keberatan pajak PT BCA yang disangkakan kepadanya.
Sejak mengorbitnya skandal pajak yang melibatkan Gayus, Kemenkeu berupaya melakukan sejumlah langkah reformasi birokrasi di lingkungan Ditjen Pajak. Gaji atau remunerasi untuk pegawai dinaikkan untuk mendorong perbaikan kinerja dan mengurangi keinginan untuk melakukan korupsi.
Toh itu tak cukup. Sampai sekarang masih saja ditemukan pegawai pajak yang melakukan korupsi. Korupsi utamanya terjadi karena faktor sistemik. Pengawasan di Ditjen Pajak masih lemah. Inspektorat Jenderal Kemenkeu dan KPK seharusnya membangun sistem pengawasan bagi kekayaan pejabat yang terindikasi memiliki kekayaan gemuk.
Satu hal yang terabaikan adalah aparat penegak hukum harus bertindak agresif mengejar para WP yang bermain mata dengan pejabat pajak. Sebab, kerugian negara terbesar ada di dana yang sebenarnya harus disetor ke kas negara.
Ah, jangan-jangan sudah diselesaikan secara diam-diam.
Bagikan
Kolom
8 hari yang lalu