Strategi Cantik Vietnam Hadapi Perang Dagang, Bukan Menjilat, Tapi Main Dua Kaki

16 April, 2025 16:02 WIB

Penulis:Muhammad Imam Hatami

Editor:Ananda Astridianka

Pekerja di Vingroup's Vsmart phone in Hai Phong, Vietnam
Pekerja di Vingroup's Vsmart phone in Hai Phong, Vietnam (Reuters/Kham)

HANOI - Di tengah eskalasi perang dagang yang dipicu oleh Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, Vietnam menunjukkan kepiawaian diplomasi yang jarang terlihat di kawasan. 

Alih-alih terseret dalam konflik dua raksasa, Vietnam memilih jalan sendiri, tidak menjilat, tapi bermain dua kaki dengan kalkulasi matang.

Langkah itu terlihat jelas dari rangkaian peristiwa diplomasi yang terjadi pada April ini. Berselang beberapa hari setelah Trump mengumumkan denda tarif sebesar 46% terhadp produk Vietnam, negeri tersebut justru menjadi negara pertama yang membuka pintu dialog dengan Amerika Serikat.

Setelah itu barulah berselang beberapa hari kemudian, Selasa, 16 April 2025, Hanoi menyambut Presiden China Xi Jinping dengan penuh antusias dan kehormatan.

Rayu AS, Tapi Tetap Mandiri

Wakil Perdana Menteri Vietnam Ho Duc Phoc menjadi aktor utama dalam pendekatan ke Washington agar tarif 46% terhadap produk Vietnam dibatalkan Trump. Ia terbang ke AS dan bertemu sejumlah pejabat tinggi, termasuk perwakilan dagang AS, untuk menegosiasikan rencana tarif resiprokal sebesar 46% yang tengah disiapkan Trump.

Respons Vietnam bukan hanya cepat, tapi juga konkret. Mereka menawarkan pembelian lebih banyak produk Amerika, termasuk di sektor pertahanan dan teknologi. Tak hanya itu, dalam lawatan tersebut, Ho Duc Phoc juga menghadiri penandatanganan kerja sama besar, VietJet memperoleh pendanaan US$300 juta, dan Vietnam Airlines menggandeng Citibank dalam kesepakatan senilai US$560 juta.

Vietnam menjadi negara pertama yang secara terbuka menyatakan kesediaannya untuk berdialog demi meredakan ketegangan dagang. Respons cepat ini membuat Trump memuji pendekatan Vietnam, bahkan menyebut Vietnam siap memangkas tarif barang AS hingga nol persen jika ada kesepakatan.

"Baru saja melakukan panggilan telepon yang sangat produktif dengan To Lam, Sekretaris Jenderal Partai Komunis Vietnam, yang mengatakan kepada saya bahwa Vietnam ingin memangkas Tarif mereka hingga nol jika mereka dapat membuat kesepakatan dengan AS," tulis Trump di laman media sosial Truth Social miliknya, dikutip Rabu, 16 April 2025.

Sambut China bak Sahabat Lama

Belum genap sebulan pasca diplomasi Vietnam -  AS, Vietnam menerima kunjungan Presiden China Xi Jinping, Selasa, 15 Januari 2025. Dalam lawatan ke Hanoi, Xi membawa pesan kuat, ajakan untuk bersatu melawan “intimidasi sepihak”. Frasa yang diyakini merujuk pada kebijakan tarif Trump.

Xi Jinping disambut meriah saat melakukan kunjungan kenegaraan ke Vietnam. Dalam kunjungan tersebut, Xi berziarah ke Mausoleum Ho Chi Minh dan bertemu dengan jajaran pimpinan Vietnam, termasuk Sekretaris Jenderal Partai Komunis Vietnam, To Lam.

"Perahu kecil dengan satu layar tidak bisa bertahan dari gelombang badai, dan hanya dengan bekerja sama kita bisa berlayar lebih stabil dan lebih jauh," ujar Xi Jinping kala mengunjungi Hanoi, dilansir dari laman AFP.

Kunjungan ini menghasilkan setidaknya 45 kesepakatan kerja sama yang mencakup berbagai sektor strategis pertanian, digitalisasi, dan ekonomi hijau. 

Selain itu, kedua negara juga sepakat mempererat kolaborasi dalam bidang kecerdasan buatan (AI), logistik, patroli maritim, hingga pengembangan infrastruktur perkeretaapian.

"Pasar raksasa China selalu terbuka untuk Vietnam. China dan Vietnam harus memperkuat fokus strategis dan bersama-sama menentang perundungan unilateral," ungkap Xi menambahkan.

Namun, di balik gestur persahabatan itu, Vietnam tetap menjaga jarak aman. Hanoi tak ingin terlihat terlalu condong ke China. Sebab, meskipun hubungan dagang dengan China penting, AS masih menjadi pasar ekspor utama bagi produk-produk Vietnam.

Vietnam tahu betul bahwa dalam rivalitas AS - China, netralitas bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan. Di tengah ancaman perang tarif yang bisa memukul industri manufakturnya, Vietnam memilih untuk bersikap fleksibel, membuka dialog dengan AS namun tetap menjaga jalur komunikasi aktif dengan China.

Langkah ini mungkin memperlihatkan Vietnam sebagai negara yang sadar posisi, tahu cara memainkan geopolitik, dan tak terjebak dalam tarik-menarik kekuasaan global. Di saat negara lain mungkin tergoda berpihak demi perlindungan, Vietnam justru memilih mandiri.