Sejarah Sabung Ayam di Indonesia, Antara Judi dan Tradisi

18 Maret, 2025 13:29 WIB

Penulis:Chrisna Chanis Cara

Editor:Chrisna Chanis Cara

hanengevecht-op-bali-1915.jpg
Sabung ayam di Bali tahun 1915.

JAKARTA—Publik dihebohkan dengan kematian tiga anggota kepolisian Polres Way Kanan usai menggerebek lokasi judi sabung ayam di Kampung Karang Manik, Kecamata Negara Batin, Kabupaten Way Kanan, Lampung. Salah satu korban tewas adalah  Kapolsek Negara Batin, Iptu Lusiyanto.

Kemudian, dua orang lainnya yakni Bripka Petrus, dan Bripda Ghalib. Mereka tewas dengan luka tembak di bagian kepala. Saat ini bergulir kabar anggota TNI terlibat dalam peristiwa penembakan tersebut. Terlepas peristiwa berdarah tersebut, sabung ayam atau adu ayam jago memiliki sejarah panjang di Nusantara. 

Ihwal sabung ayam ini pernah didokumentasikan antropolog, Clifford Geertz, dan istrinya. Medio April 1958, mereka pernah meneliti sebuah desa terpencil di Bali. Saat itu Geertz, tiba-tiba dikejutkan oleh kedatangan polisi. Ya, sejumlah polisi datang di desa tersebut untuk menggerebek perhelatan judi sabung ayam.

Semua orang lari saat itu tunggang langgang, termasuk Geertz dan istrinya. Dari momen itu, Geertz menemukan pembacaan soal makna di balik ritus sabung ayam masyarakat Bali. Kenangan tentang pengalaman menyaksikan sabung ayam di Bali itu diabadikan Geertz dalam esai terkenalnya yang berjudul Deep Play: Notes on The Balinese Cockfight. 

Pembentukan Budaya

Esai yang menjadi salah satu artikel penting dalam bukunya, The Interpretation of Culture: Selected Essaysi, itu menyimpulkan yang terlihat hanya jago-jago (ayam-ayam) saja yang bertarung di sana. Sebenarnya, yang bertarung di sana adalah manusia-manusia.

Dikutip dari Indonesia.go.id, Selasa, 18 Maret 2025, Geertz kemudian menemukan makna penting sabung ayam dalam masyarakat Bali.  Di balik sabung ayam, ada suatu bangunan kultur yang besar, tentang status, tentang kepahlawanan, kejantanan, dan etika sosial yang menjadi dasar pembentukan budaya Bali. 

Ilustrasi sabung ayam. (Wikimedia Commons)

Menurut Geertz, sabung ayam lebih dari sekadar judi, tapi juga simbol ekspresi dari status, otoritas, dan lain sebagainya. Di Jawa, sabung ayam dikisahkan dalam folklore (cerita rakyat) Cindelaras yang memiliki ayam sakti. 

Dia kemudian diundang raja Jenggala, Raden Putra untuk adu ayam. Jika ayam Cindelaras kalah, ia bersedia dipancung. Namun jika ayamnya menang, maka setengah kekayaan Raden Putra menjadi milik Cindelaras. Pertarungan akhirnya dimenangkan ayam Cindelaras.

Baca Juga: SERIAL 1: Pasang Surut Judi di Indonesia, dari Abad ke-16 sampai Pasca Reformasi

Bagi masyarakat Sunda, ada folklore Ciung Wanara yang menceritakan momen praktik sabung ayam di era Kerajaan Galuh abad ke-8. Dalam La Galigo di Bugis, tokoh utama epik itu yakni Sawerigading juga diceritakan memiliki kegemaran sabung ayam. Bahkan, dulu orang Bugis belum bisa disebut pemberani (tobarani) jikalau tidak memiliki kebiasaan menyabung ayam (massaung manu’). 

Di era modern, sabung ayam masih sering dilakukan di sejumlah daerah, entah itu diwarnai judi atau untuk kesenangan belaka. Asosiasi hobi ayam sabung di Indonesia pun telah terbentuk. Mereka menamakan dirinya Paguyuban Penggemar Ayam Jago Indonesia (Papaji). Asosiasi ini tegas menghilangkan unsur perjudian di sabung ayam. 

Sabung ayam dibikin seperti perlombaan tinju. Adu ketangkasan ini dibatasi waktu dengan pemenang  ditentukan melalui skor. Taji di kaki ayam jantan biasanya dibungkus untuk mengurangi risiko kematian.