Bursa Saham
17 Maret, 2025 12:01 WIB
Penulis:Alvin Pasza Bagaskara
Editor:Ananda Astridianka
JAKARTA – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menghadapi tantangan besar untuk kembali ke level 7.000 pada kuartal I-2025. Harapan tertuju pada sektor perbankan jumbo seperti BBRI, meski tekanan aksi jual asing, ketidakpastian global, dan likuiditas yang ketat menghambat pemulihan.
Sepanjang pekan lalu (10-14 Maret 2025), IHSG melemah 1,81% ke level 6.515,631. Secara year to date, koreksi mencapai 7,97%. Tren penurunan yang berlangsung sejak September-Oktober 2024 menunjukkan tekanan kuat di pasar modal. Meski demikian, analis mulai melihat peluang rebound menjelang akhir kuartal.
Head of Research Kiwoom Sekuritas, Liza Camelia Suryanata, menilai IHSG masih berpeluang mencapai 7.000, terutama dengan strategi manajer investasi (MI) yang berpotensi melakukan window dressing untuk memperbaiki performa portofolio. “Namun, peluang ini hanya sekitar 50%-60% karena sejumlah faktor yang dapat menghambat laju indeks,” paparnya dikutip pada Senin, 17 Maret 2025.
Liza bilang salah satu faktor utama yang membebani IHSG adalah aksi jual investor asing. Goldman Sachs menurunkan peringkat saham Indonesia dari overweight menjadi market weight, sementara Morgan Stanley memangkas MSCI Indonesia dari equal weight menjadi underweight. Penurunan ini berisiko mengurangi aliran dana asing ke bursa domestik, sehingga memperlambat pemulihan IHSG.
Selain itu, defisit fiskal yang melebar menjadi ancaman serius. Pemerintah dan Danantara yang agresif menjual obligasi berpotensi menciptakan oversupply Surat Utang Negara (SUN). “Dengan yield SUN yang kemungkinan harus dinaikkan untuk menarik investor asing, likuiditas perbankan bisa tergerus, memperlambat pertumbuhan kredit, serta menekan profitabilitas bank,” paparnya.
Dari sisi makroekonomi, kata Liza, rasio utang luar negeri terhadap PDB yang berpotensi mendekati 50% turut menambah kekhawatiran. Proyeksi pertumbuhan ekonomi kuartal I-2025 yang diragukan bisa mencapai 5% semakin mempertegas tantangan yang ada. Ketidakpastian global akibat perang dagang dan konflik geopolitik juga memperumit situasi, menekan kepercayaan investor.
Namun, di tengah ketidakpastian tersebut, sektor perbankan tetap menjadi harapan utama bagi IHSG. Beberapa saham bank yang berpotensi menjadi katalis penguatan indeks antara lain BBRI, BBCA, BMRI, dan BBNI. Jika saham-saham ini mampu menembus level resistance, IHSG berpotensi menguat.
Misalnya, BBRI berpeluang menuju 4.500 jika mampu menembus 4.000-4.050. BBCA bisa mencapai 9.300-9.400 dalam jangka pendek jika bertahan di atas 9.000. BMRI harus bertahan di atas 4.600 dan menembus 5.000 agar bisa mencapai 5.400-5.500. Sementara itu, BBNI berpotensi menuju 4.800-5.000 jika mampu bertahan di atas 4.600.
Keputusan Bank Indonesia (BI) dalam menetapkan suku bunga menjadi faktor kunci. Head of Research & Chief Economist Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Rully Arya Wisnubroto, menjelaskan bahwa pelonggaran moneter bisa menjadi pendorong bagi IHSG, terutama jika BI memangkas suku bunga dalam waktu dekat.
Di sisi lain, kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE) yang mewajibkan valuta asing hasil ekspor ditempatkan di dalam negeri masih menjadi faktor yang menjaga stabilitas rupiah. “Meski begitu, pelaku pasar tetap menunggu langkah konkret pemerintah dalam menerapkan kebijakan pro-pasar yang lebih agresif guna mengembalikan kepercayaan investor,” jelas Rully belum lama ini.
Dengan berbagai tantangan yang ada, IHSG membutuhkan dorongan kuat dari sektor perbankan untuk bisa kembali menembus level 7.000. Jika saham-saham bank berhasil bangkit dari tren turun dan investor kembali percaya pada pasar modal domestik, peluang rebound masih terbuka. Namun, tanpa dukungan kebijakan yang solid dan kejelasan dari sisi makroekonomi, target tersebut masih sulit untuk diwujudkan dalam waktu dekat.
Bagikan
Bursa Saham
2 jam yang lalu
Bursa Saham
5 jam yang lalu