Fintech
09 April, 2025 08:32 WIB
Penulis:Idham Nur Indrajaya
Editor:Amirudin Zuhri
JAKARTA - Bitcoin kembali menembus level US$80.000 pada Selasa, 8 April 2025, seiring pulihnya sentimen pasar dan meningkatnya optimisme investor terhadap data inflasi CPI AS.
Setelah sempat terkoreksi ke angka US$74.000 pada Senin, 7 April 2025, harga Bitcoin hari ini kembali naik dan menyentuh area US$80.000.
Tidak hanya Bitcoin, sejumlah altcoin utama juga menunjukkan performa yang impresif. Aset kripto seperti HYPE, TAO, HBAR, MKR, KAS, SUI, dan RENDER mengalami kenaikan harga lebih dari 10% dalam 24 jam terakhir.
Meskipun terjadi pemulihan harga, secara mingguan pasar kripto masih berada dalam tren turun. Data dari Coingecko mencatat total kapitalisasi pasar saat ini berada di angka US$2,591 triliun, masih lebih rendah dibandingkan posisi US$2,766 triliun pada 1 April lalu. Namun, volume perdagangan justru mengalami lonjakan tajam, dari US$108 miliar menjadi US$239 miliar per hari ini.
Analis Reku, Fahmi Almuttaqin, menyampaikan bahwa kenaikan harga yang terjadi hari ini kemungkinan besar didorong oleh optimisme investor terhadap data inflasi (CPI) AS yang akan dirilis pada 10 April mendatang.
“Data CPI AS yang akan dirilis pada 10 April ini berpotensi memberikan angin segar bagi pasar jika kenaikan yang ada sejalan dengan proyeksi para ekonom di angka 2,5% secara tahunan,” jelas Fahmi melalui hasil riset yang diterima TrenAsia, Selasa, 8 April 2025.
“Apabila kenaikan CPI berada pada angka tersebut, hal itu akan menjadi tingkat inflasi tahunan terendah sejak September lalu,” tambahnya.
Survei ekonom yang dilakukan Dow Jones Newswires dan The Wall Street Journal memproyeksikan inflasi tahunan AS akan turun dari 2,8% di Februari menjadi 2,5% di Maret.
Walau begitu, Fahmi mengingatkan bahwa sentimen positif ini bisa saja terbatas karena kekhawatiran pasar terhadap potensi kenaikan inflasi di bulan April akibat kebijakan tarif impor baru dari Donald Trump.
“Indikator Tariff Fear gauge UBS, yang mengukur seberapa besar pasar telah memperhitungkan dampak tarif impor AS, turun dari 30% pada Maret menjadi hanya 11% pada April,” ungkap Fahmi.
“Penurunan tersebut mengindikasikan bahwa investor mungkin belum sepenuhnya memahami seberapa serius dampak kebijakan tarif baru yang ada,” lanjutnya.
Ahli strategi UBS, Bhanu Baweja, turut memperingatkan bahwa jika kebijakan tarif ini diberlakukan, maka tarif rata-rata impor AS dapat melonjak dari 2,5% menjadi 24%, yang berpotensi memangkas pertumbuhan ekonomi AS sebesar 1,5% hingga 2%, serta mendorong inflasi tahunan hingga ke level 5%.
Situasi ekonomi global yang tidak menentu membuka kembali peluang bagi Bitcoin sebagai instrumen pelindung nilai (inflation hedge), seiring dengan lonjakan harga emas yang mencapai rekor tertinggi baru.
“Aset kripto khususnya Bitcoin merupakan instrumen yang dapat dipandang sebagai inflation-hedge, atau yang sering diibaratkan sebagai emas digital,” kata Fahmi.
“Jika situasi yang ada saat ini telah mendorong harga emas menyentuh nilai tertinggi barunya, maka bukan tidak mungkin perhatian investor terhadap aset kripto seperti Bitcoin sebagai alternatif lindung nilai, dapat mulai berkembang, meskipun saat ini korelasi antara aset kripto dan saham masih relatif tinggi,” tambahnya.
Fahmi juga menyoroti bahwa tekanan jual terhadap Bitcoin saat ini masih relatif minim, yang mencerminkan adanya potensi minat beli dari investor.
Mengacu data dari Coinglass, sepanjang periode 1-7 April, arus keluar bersih dari ETF Bitcoin spot AS hanya sebesar US$202,1 juta, jauh lebih kecil dibandingkan periode yang sama di bulan Maret yang mencatat US$739,2 juta.
“Masih relatif minimnya tekanan jual Bitcoin membuat aset kripto tersebut berpotensi menarik perhatian investor di tengah dinamika dan ketidakpastian kondisi ekonomi global ke depan,” ujar Fahmi.
Fahmi menyarankan bahwa investor jangka panjang bisa mempertimbangkan strategi akumulasi bertahap, sementara trader profesional dapat memanfaatkan volatilitas pasar untuk transaksi jangka pendek.
“Bagi investor jangka panjang, strategi akumulasi secara bertahap terhadap Bitcoin menjadi opsi yang dapat dipertimbangkan guna mempersiapkan portofolio untuk menghadapi kemungkinan kembali berkembangnya sentimen positif terhadap Bitcoin,” jelas Fahmi.
“Bagi trader profesional, volatilitas yang ada tentu dapat dimanfaatkan untuk mengelola portofolio secara lebih aktif, khususnya dalam rentang waktu yang lebih pendek,” lanjutnya.
Fahmi juga merekomendasikan strategi Dollar-Cost Averaging (DCA) pada aset kripto dengan kapitalisasi pasar terbesar, yang dapat dioptimalkan menggunakan fitur seperti Packs di aplikasi Reku.
“Fitur Packs yang dilengkapi dengan sistem Rebalancing akan membantu investor menyesuaikan alokasi investasinya sesuai dengan kondisi pasar secara otomatis. Dengan begitu, strategi DCA yang dilakukan dapat lebih mudah, praktis, dan optimal,” tutupnya.
Bagikan
Fintech
3 hari yang lalu
Fintech
3 hari yang lalu