logo
Ikuti Kami di:

Tarif Jadi Alat Tekan, Keuntungan Apa yang Ingin Diraih AS?

Tarif Jadi Alat Tekan, Keuntungan Apa yang Ingin Diraih AS?
Donald Trump Terdepak dari Daftar Orang Terkaya di Amerika Serikat Versi Forbes
Debrinata Rizky16 April, 2025 07:31 WIB

JAKARTA – Pemerintah Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump kembali menegaskan arah kebijakan dagangnya yang agresif dan transaksional.

Dengan menerapkan skema tarif impor tinggi kepada puluhan negara, termasuk Indonesia, AS tidak hanya berupaya melindungi industri domestik, tetapi juga secara strategis mendorong negara-negara mitra untuk “membayar” melalui investasi langsung ke Negeri Paman Sam.

Langkah ini kerap dikritik sebagai bentuk diplomasi koersif,  tetapi secara ekonomi dapat menjadi strategi cerdas yang menguntungkan Amerika Serikat dalam banyak aspek.

Berapa Potensi Keuntungan AS?

Peningkatan FDI

Berdasarkan data U.S. Bureau of Economic Analysis (BEA), nilai investasi asing langsung (FDI) ke AS mencapai sekitar US$318 miliar pada 2023. Dengan strategi tekanan tarif, potensi pertumbuhan FDI bisa naik 5–10% per tahun. Itu artinya, AS bisa mengantongi tambahan US$15–30 miliar per tahun hanya dari respons "bujukan investasi" akibat tarif tinggi.

Cipta Lapangan Kerja

FDI yang masuk umumnya disertai dengan pembangunan pabrik, pusat riset, hingga kantor perwakilan. Setiap US$1 miliar investasi manufaktur dapat menciptakan sekitar 4.000–5.000 lapangan kerja langsung di sektor padat karya.

Penguatan Dolar dan Penerimaan Pajak

Peningkatan investasi langsung juga memperkuat permintaan terhadap dolar AS serta meningkatkan penerimaan pajak negara bagian maupun federal. Investasi asing pada sektor riil seperti energi, otomotif, dan semikonduktor akan memperluas basis pajak.

Transfer Teknologi dan R&D

Perusahaan asing yang berinvestasi di AS membawa serta teknologi, inovasi, serta jaringan rantai pasok global. Hal ini berkontribusi terhadap kemajuan industri dalam negeri dan meningkatkan daya saing produk AS di pasar global.

Bagi AS, kebijakan tarif impor bukan lagi sekadar pelindung industri dalam negeri, melainkan alat strategis untuk memaksa mitra dagang membuka dompet dan membangun komitmen jangka panjang. Dengan potensi tambahan investasi puluhan miliar dolar per tahun, penciptaan lapangan kerja, serta pertumbuhan pajak, strategi ini tampaknya menjadi bagian integral dari “America First” dalam format ekonomi.

Namun keberhasilan jangka panjang tetap bergantung pada bagaimana AS menjaga kepercayaan mitra dagang dan menyeimbangkan antara tekanan dan kerja sama. Jika tidak hati-hati, strategi ini justru bisa menjadi bumerang dalam dinamika geopolitik yang kian kompleks.