Bagikan:
Bagikan:
JAKARTA - Fundamental ekonomi Indonesia memang cukup kuat, namun gejolak global mulai menekan sejumlah sektor di pasar saham. Perang dagang yang memanas dan depresiasi rupiah jadi dua faktor utama yang mengancam kinerja emiten di sektor konsumer, ritel, otomotif, hingga komoditas.
Analis BRI Danareksa Sekuritas, Erindra Krisnawan, menilai Indonesia relatif siap dibanding negara berkembang lain karena rendahnya ketergantungan pada ekspor. Saat ini kontribusi ekspor terhadap Product Domestic Bruto (PDB) hanya sekitar 22%.
“Namun, kekhawatiran utama saat ini adalah risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi, terutama karena kurangnya katalis pertumbuhan mulai kuartal kedua 2025,” ujar Erindra dalam riset yang dipublikasikan Kamis, 10 April 2025.
Sektor konsumer jadi salah satu yang paling rentan. Melemahnya rupiah mengancam margin keuntungan karena naiknya biaya bahan baku impor. Meskipun pada periode 2018 sektor ini masih mampu bertahan, kondisi tahun ini dianggap lebih kompleks karena daya beli masyarakat juga ikut melemah.
“Meskipun rupiah sempat berfluktuasi antara 3 persen sampai dengan 11% dari kuartal I-2018 hingga kuartal I-2019, perusahaan konsumer berhasil secara bertahap memperbaiki margin kotor mereka,” ujar Erindra.
Saham-saham ritel juga mulai mendapat tekanan. Meskipun ekspansi gerai dan peningkatan produktivitas sempat mendorong pertumbuhan dua digit, depresiasi rupiah membuat biaya impor naik. Emiten-emiten ritel tetap menjaga margin kotor di kisaran 41 hingga 42%, namun tekanan terhadap harga saham tak terhindarkan karena sentimen pasar mulai negatif terhadap prospek sektor ini.
“Memasuki kuartal II-2025, prospek sektor ini menghadapi tantangan baru yakni kombinasi perlambatan musiman, lemahnya katalis daya beli dan pelemahan nilai tukar,” jelas Erindra.
Sementara itu, sektor otomotif menghadapi risiko ganda. Dari sisi ekspor, Indonesia mencatatkan nilai ekspor komponen otomotif sebesar US$2,4 juta pada 2024, dengan 10 persen di antaranya diekspor ke Amerika Serikat.
Namun, kebijakan tarif baru dari AS dinilai lebih merugikan produsen komponen lokal. “Kebijakan tarif terbaru dinilai lebih membebani produsen komponen lokal seperti AUTO dan DRMA, ketimbang eksportir kendaraan utuh,” katanya.
Di sisi lain, depresiasi rupiah membuat biaya impor kendaraan meningkat. Jika distributor tak mampu mengalihkan beban ini ke konsumen, margin berpotensi tergerus cukup dalam. Di sisi lain, industri semen juga tak luput dari tekanan.
Hal ini karena sekitar 30% dari total biaya produksi ditopang oleh batu bara yang berbasis dolar AS. Pelemahan rupiah sebesar 1 persen saja disebut dapat memangkas laba hingga 5 persen. “Di tengah kondisi kelebihan pasokan dan lemahnya permintaan domestik, upaya menaikkan harga jual dinilai sulit dilakukan,” ujar Erindra.
Lalu, untuk sektor komoditas, aluminium menjadi sorotan utama. Tarif aluminium dari AS naik dari 10 persen pada 2018 menjadi 25 persen sejak Februari 2025. Berbeda dengan logam lain seperti tembaga, nikel, dan emas yang dikecualikan dari tarif baru, aluminium kini berada di bawah tekanan berat.
“Kami menilai bahwa dampak yang lebih besar tersebut disebabkan oleh cepatnya tarif balasan dari China terhadap kenaikan tarif AS, yang memperbesar kekhawatiran akan hancurnya permintaan,” kata Erindra.
Pelemahan rupiah menjadi elemen penting dalam tekanan lintas sektor ini. Sejak awal Januari 2025, TrenAsia menghimpun bahwa rupiah menunjukkan tren depresiasi signifikan. Dari level Rp16.315/US$ pada 15 Januari, rupiah sempat stabil di kisaran Rp16.340–Rp16.420 hingga akhir Februari.
Namun, ketegangan geopolitik dan kenaikan tarif impor oleh AS memicu lonjakan kurs ke Rp16.580/US$ pada awal Maret. Meskipun sempat menguat tipis di pertengahan bulan, tekanan kembali muncul menjelang akhir Maret, hingga mencapai Rp16.860/US$ pada 8 April.
Penyebabnya adalah arus modal keluar, penurunan penerimaan pajak, dan ketidakpastian kebijakan fiskal turut memperburuk sentimen terhadap rupiah. Nah, jika tren ini berlanjut tanpa intervensi kebijakan yang tepat, bukan tidak mungkin rupiah menembus level psikologis Rp17.000/US$ dalam waktu dekat, sebuah ambang yang bisa memperdalam tekanan di sektor-sektor krusial ekonomi nasional.