Bagikan:
Bagikan:
JAKARTA — Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendorong penguatan praktik pertambangan yang berkelanjutan di Indonesia. Hal ini seiring meningkatnya kebutuhan akan pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang tidak hanya berorientasi pada ekonomi, tetapi juga aspek lingkungan dan sosial.
Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah KH Cholil Nafis menegaskan, bahwa Islam telah lama mengajarkan prinsip tata kelola SDA yang bertanggung jawab, selaras dengan arah kebijakan pembangunan nasional dan agenda Sustainable Development Goals (SDGs).
“Islam tidak melarang eksploitasi sumber daya alam, termasuk tambang, tetapi pelaksanaannya harus menjaga keseimbangan dan tidak menimbulkan kerusakan. Alam adalah amanah yang wajib dikelola dengan etika,” ujarnya dalam keterangannya dilansir pada Jumat, 14 Maret 2024.
Adapun sebelumnya hal ini muncul di tengah meningkatnya perhatian terhadap praktik pertambangan yang ramah lingkungan, menyusul tren global transisi energi dan tekanan terhadap sektor industri untuk mengadopsi prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG).
Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sektor pertambangan masih menjadi salah satu penyumbang utama penerimaan negara, dengan kontribusi mencapai Rp152 triliun pada tahun 2024 dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Namun, tantangan terhadap dampak lingkungan dan konflik sosial di sekitar wilayah tambang menjadi sorotan publik.
KH Cholil Nafis menekankan pentingnya mencegah dua jenis kerusakan dalam aktivitas pertambangan. Pertama kerusakan ekologis dan kerusakan mentalitas. “Kerusakan ekologis terjadi saat eksploitasi dilakukan tanpa batas dan abai terhadap lingkungan, sementara kerusakan mentalitas muncul saat pengelolaan SDA hanya mengejar keuntungan tanpa mempertimbangkan generasi masa depan,” lanjutnya.
Ia juga menyebutkan bahwa prinsip-prinsip Islam seperti larangan israf (pemborosan), menjaga keseimbangan ekosistem, dan prinsip maslahat umum sejalan dengan prinsip keberlanjutan dalam industri modern. Hal ini, menurutnya, dapat menjadi pijakan etika dalam merumuskan kebijakan sektor ekstraktif nasional.
Sekadar informasi, Pemerintah sendiri melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029 telah menetapkan agenda peningkatan produktivitas sektor tambang yang dibarengi dengan penguatan aspek keberlanjutan dan inklusivitas. Sejumlah regulasi seperti Undang-Undang Minerba dan aturan pelaksanaan reklamasi dan pascatambang juga terus diperkuat.
“Maka sangat penting melibatkan semua pihak negara, pelaku industri, masyarakat, dan tokoh agama untuk memastikan bahwa praktik pertambangan di Indonesia tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga mencerminkan nilai tanggung jawab sosial dan keberlanjutan,” ujar KH Cholil.
Dengan meningkatnya tuntutan ESG dan arah kebijakan global menuju ekonomi hijau, dorongan dari elemen keagamaan seperti MUI dinilai dapat memperkuat legitimasi moral sekaligus membangun kesadaran kolektif dalam transformasi sektor pertambangan nasional.