Bagikan:
Bagikan:
JAKARTA - Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menyentuh level terendah dalam lima tahun terakhir. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran mengenai potensi tekanan terhadap rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) perbankan, terutama bagi bank yang memiliki eksposur besar terhadap kredit dan surat utang dalam valuta asing.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Dian Ediana Rae, menegaskan bahwa risiko pasar terkait nilai tukar masih berada pada level yang sangat rendah. Hal ini tercermin dari Posisi Devisa Neto (PDN) perbankan yang hanya sebesar 1,24%, jauh di bawah ambang batas 20% yang ditetapkan regulator.
“Eksposur langsung perbankan terhadap risiko nilai tukar relatif kecil, sehingga pelemahan rupiah tidak akan banyak berpengaruh langsung terhadap neraca bank,” ujar Dian melalui jawaban tertulis, dikutip Kamis, 27 Maret 2025.
Dampak terhadap Kredit Valas
Dian menjelaskan bahwa kredit dalam valuta asing umumnya diberikan kepada perusahaan yang berbasis ekspor, yang memiliki sumber pendapatan dalam bentuk valas.
Dengan demikian, risiko dari pelemahan rupiah terhadap kredit valas menjadi lebih kecil karena secara alami terlindungi (naturally hedged).
Selain itu, depresiasi rupiah justru berpotensi meningkatkan nilai aset bank dalam bentuk valuta asing, yang dapat berdampak positif pada profitabilitas perbankan.
Baca Juga: RUPST BTN Setujui Akuisisi Bank Victoria Syariah dan Restrukturisasi BTN Syariah
Lebih lanjut, Dian mengungkapkan bahwa pertumbuhan kredit valas pada Januari 2025 mencapai 13,39% secara tahunan (yoy), lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) dalam valas yang tercatat sebesar 7,19% (yoy). Hal ini menyebabkan Loan to Deposit Ratio (LDR) valas meningkat menjadi 80,62%, dibandingkan 76,22% pada Januari 2024.
Potensi Risiko terhadap NPL dan Mitigasinya
Meski demikian, OJK tetap mengingatkan bahwa pelemahan rupiah dapat membawa risiko kredit, terutama bagi debitur yang bergantung pada biaya input berbasis impor. “Depresiasi rupiah bisa menyebabkan kenaikan biaya input bagi perusahaan, yang pada akhirnya mempengaruhi profitabilitas dan kemampuan membayar utang,” kata Dian.
Namun, menurutnya, perbankan telah mengantisipasi potensi risiko ini dengan membentuk pencadangan yang cukup serta menjaga permodalan pada tingkat yang memadai. “Bank sudah memiliki buffer yang cukup dalam menghadapi kemungkinan pemburukan risiko kredit,” tambahnya.
OJK Dorong Penguatan Manajemen Risiko
OJK terus mendorong perbankan untuk menerapkan manajemen risiko yang kuat, terutama dalam menghadapi volatilitas nilai tukar. Dian menekankan bahwa bank harus secara rutin melakukan uji ketahanan (stress test) dengan berbagai skenario dan menyiapkan strategi mitigasi risiko yang tepat.
Selain itu, sesuai dengan ketentuan OJK, perbankan diwajibkan untuk membentuk tambahan modal di atas persyaratan minimum, yang berfungsi sebagai penyangga (buffer) dalam menghadapi krisis keuangan dan ekonomi.
“Kami selalu memberikan arahan kepada bank agar siap menghadapi perubahan kondisi pasar global maupun domestik,” tutup Dian.