logo
Ikuti Kami di:

Pertumbuhan PDB dan Inflasi Indonesia Sudah Seperti Negara Maju, Sayangnya Rupiah Masih Keok

Pertumbuhan PDB dan Inflasi Indonesia Sudah Seperti Negara Maju, Sayangnya Rupiah Masih Keok
UOB Media Literacy Circle bertajuk “Investasi via Digital: Strategi Kelas Menengah di Tengah Biaya Hidup Tinggi dan Gejolak Pasar“ di Jakarta, Selasa, 11 Maret 2025. (TrenAsia/Idham Nur Indrajaya)
Idham Nur Indrajaya12 Maret, 2025 07:03 WIB

JAKARTA – Inflasi yang terus meningkat sejak tahun 2022 hingga 2024 menjadi tantangan bagi perekonomian global, termasuk Indonesia. Menurut Enrico Tanuwidjaja, Ekonom ASEAN dari UOB, lonjakan inflasi ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti ketegangan geopolitik, volatilitas pasar global, dan penguatan dolar AS. 

Namun, jika melihat perkembangan atas pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dan inflasi dalam negeri, sebenarnya Indonesia sudah seperti negara maju. Namun, mata uang Rupiah yang masih lemah menjadi salah satu permasalahan yang menghambat. 

Enrico menjelaskan bahwa faktor utama yang mendorong ketidakpastian ekonomi global adalah meningkatnya volatilitas pasar dan penguatan dolar AS. 

“Saat ini, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS telah mencapai Rp16.400. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat perlu mengeluarkan lebih banyak rupiah untuk mendapatkan satu dolar,” ujarnya dalam acara UOB Media Literacy Circle bertajuk “Investasi via Digital: Strategi Kelas Menengah di Tengah Biaya Hidup Tinggi dan Gejolak Pasar“ di Jakarta, Selasa, 11 Maret 2025. 

Lebih lanjut, Enrico menyoroti bahwa volatilitas pasar semakin meningkat sejak September 2023, terutama karena kebijakan moneter ketat yang diterapkan oleh The Federal Reserve (The Fed). Dengan suku bunga The Fed bertahan di level 4,5%, penguatan dolar AS akan bertahan lebih lama, sehingga memberikan tekanan tambahan bagi nilai tukar rupiah.

Dampak Kebijakan Trump terhadap Ekonomi Indonesia

Dalam pemaparannya, Enrico juga menyoroti dampak kebijakan perdagangan Donald Trump terhadap Indonesia. Trump diketahui berencana menaikkan tarif ekspor ke Amerika Serikat, yang dapat memberikan keuntungan bagi perekonomian AS sendiri. Namun, Enrico menegaskan bahwa Indonesia tidak terlalu terdampak secara langsung.

“Kita melihat bahwa surplus perdagangan Indonesia terhadap AS relatif kecil dibandingkan negara lain seperti Thailand dan Vietnam. Ekspor utama kita ke AS lebih banyak berupa produk dengan nilai tambah rendah, seperti pakaian, sepatu, karet, dan furnitur,” jelasnya. Oleh karena itu, dampak tarif impor terhadap ekspor Indonesia ke AS tidak terlalu besar.

Namun, secara finansial, Indonesia tetap terkena dampaknya. “Karena pasar keuangan kita masih relatif dangkal, rupiah menjadi lebih rentan terhadap goncangan eksternal,” ujar Enrico. Bank Indonesia pun harus melakukan intervensi guna menstabilkan nilai tukar rupiah.

Strategi Pemerintah dalam Menghadapi Tantangan Ekonomi

Dalam menghadapi ketidakpastian global, Enrico menyebutkan bahwa ada beberapa langkah yang dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Salah satunya adalah memperdalam pasar keuangan domestik.

“Investasi di Indonesia harus lebih beragam. Saat ini, produk investasi yang tersedia masih itu-itu saja. Diversifikasi produk keuangan, terutama melalui digitalisasi, sangat diperlukan agar masyarakat memiliki lebih banyak pilihan dalam berinvestasi,” sarannya.

Selain itu, kebijakan moneter dan fiskal juga memainkan peran penting dalam menjaga stabilitas ekonomi. “Bank Indonesia telah menerapkan berbagai kebijakan, seperti pemangkasan suku bunga dan pelonggaran likuiditas, untuk mendorong kredit dan meningkatkan gairah pasar tenaga kerja,” jelas Enrico.

Sektor-Sektor dengan Multiplier Effect Tinggi

Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerintah perlu fokus pada sektor-sektor yang memiliki efek pengganda tinggi. Menurut Enrico, ada lima sektor utama yang berpotensi besar dalam mendukung pertumbuhan ekonomi nasional:

  1. Makanan dan Minuman – Sektor ini memiliki multiplier effect sebesar 4,8, yang berarti setiap Rp10.000 yang diinvestasikan dapat menghasilkan dampak ekonomi hingga Rp48.000.
  2. Transportasi dan Logistik – Sektor ini tetap memiliki permintaan yang tinggi, terutama dengan meningkatnya kebutuhan jasa pengiriman dan transportasi.
  3. Business Services – Industri jasa pendukung bisnis terus berkembang seiring dengan meningkatnya jumlah usaha kecil dan menengah (UKM).
  4. Infokom (Informasi dan Komunikasi) – Digitalisasi semakin masif, sehingga sektor ini menjadi salah satu yang paling berkembang pesat.
  5. Konstruksi dan Pertambangan – Investasi di sektor ini sangat penting untuk mendukung pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

Optimisme terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Meskipun Indonesia menghadapi tantangan dari faktor eksternal, Enrico tetap optimis terhadap prospek pertumbuhan ekonomi nasional. 

“Pertumbuhan ekonomi kita masih di atas 5%, inflasi terkendali di bawah 3%, dan suku bunga cukup kompetitif. Secara fundamental, ekonomi Indonesia berada dalam kondisi yang cukup baik. Ini sebenarnya sudah seperti negara maju,” katanya.

Namun, tantangan utama tetap berada pada nilai tukar rupiah yang rentan terhadap tekanan eksternal, apalagi dengan terpilihnya Trump yang berdampak kepada volatilitas pasar keuangan, dan ditambah pula dengan suku bunga The Fed yang masih stagnan. 

“Dolar AS masih kuat, sehingga tekanan terhadap rupiah masih akan berlanjut. Ini bukan hanya masalah Indonesia, tetapi juga terjadi di banyak negara berkembang maupun maju,” tambahnya.

Kesimpulan: Perlu Kepercayaan dan Diversifikasi Investasi

Sebagai penutup, Enrico menekankan pentingnya menjaga kepercayaan pasar dan meningkatkan investasi. “Kepercayaan pasar harus dijaga agar investasi dan konsumsi bisa terus berkembang. Selain itu, diversifikasi investasi, baik dari sisi individu maupun perusahaan, menjadi kunci untuk menghadapi tantangan ekonomi ke depan,” tutupnya.

Dengan langkah-langkah strategis yang tepat, Indonesia dapat menghadapi tantangan global dan tetap menjaga pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan