Bagikan:
Bagikan:
JAKARTA – Penundaan pengangkatan calon pegawai negeri sipil (PNS) dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) hasil seleksi 2024 menimbulkan berbagai masalah, terutama dalam aspek ekonomi.
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) menetapkan penjadwalan ulang pengangkatan CPNS menjadi 1 Oktober 2025, sedangkan PPPK akan diangkat pada 1 Maret 2026.
Dalam Brief Analysis berjudul Bagaimana Nasib Kami Para CPNS? Menakar Kerugian Ekonomi Penundaan Pengangkatan CPNS, Bhima Yudhistira dan Nailul Huda menjelaskan keputusan penundaan ini berdampak negatif, baik bagi individu CPNS maupun terhadap perekonomian nasional.
Penundaan pengangkatan CPNS yang awalnya dijadwalkan pada Maret 2025 menjadi Oktober 2025 atau bahkan Maret 2026 menimbulkan berbagai pertanyaan. Salah satu yang dipertanyakan adalah alasan di balik penundaan selama 9 bulan tersebut.
Efisiensi anggaran yang menyebabkan penundaan pengangkatan CPNS dipengaruhi oleh tiga faktor utama. Pertama, kegagalan penerimaan negara, terutama setelah masalah pada sistem Coretax dan penurunan harga komoditas.
Kedua, pemborosan pembangunan infrastruktur pada era Jokowi yang berkontribusi terhadap pelebaran defisit APBN. Ketiga, beban utang yang mencapai Rp1.350 triliun, termasuk utang jatuh tempo dan bunga utang, yang mendorong upaya penghematan meskipun masih belum mencukupi.
Hasil riset Center of Economic dan law Studies (Celios) menunjukkan, hasil model yang dilakukan CELIOS menggunakan metode Input-Output (I-O), ditemukan bahwa kerugian total output ekonomi mencapai Rp11,9 triliun imbas dari kebijakan ini, sementara pendapatan masyarakat mengalami penurunan sebesar Rp10,4 triliun.
Tidah berhenti sampai di situ, dampak langsung juga dialami oleh CPNS yang diperkirakan mencapai Rp6,76 triliun. Nilai tersebut didasarkan pada asumsi rata-rata gaji pokok aparatur sipil negara (ASN) sebesar Rp3,2 juta untuk masa kerja 0-3 tahun.
“Dari sisi total pendapatan ASN yang berpotensi hilang akibat penundaan pengangkatan sebesar Rp6,76 triliun,” kata Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira.
Kemudian diambil 80% dari gaji pokok, dikurangi pajak, dan ditambah berbagai tunjangan, sehingga diperkirakan setiap individu menerima sekitar Rp3 juta per bulan.
Bhima mengatakan, jika pengangkatan CPNS ditunda selama 9 bulan, maka setiap ASN berpotensi kehilangan pendapatan sekitar Rp27 juta. Sementara, total kebutuhan formasi baik di tingkat pusat maupun daerah, mencapai 250.407 posisi.
Para pengusaha turut mengalami kerugian karena uang gaji dan tunjangan yang seharusnya dibelanjakan oleh CPNS untuk berbagai kebutuhan, seperti barang pokok, perumahan, hingga elektronik, justru menjadi potential loss. Estimasi kerugian yang dialami pengusaha mencapai Rp3,68 triliun hasil kebijakan penundaan pengangkatan CPNS.
Secara tidak langsung penundaan pengangkatan CPNS juga berdampak luas, termasuk penurunan output sektor jasa pemerintah sebesar Rp3,5 triliun, sektor perdagangan -Rp441,7 miliar, serta sektor penyediaan makanan dan minuman yang terdampak hingga Rp286,8 miliar.
“Pemerintah seharusnya mempertimbangkan efek berantai dari setiap keputusan yang tidak hanya melibatkan ratusan ribu CPNS yang nasibnya tidak pasti, tapi juga pengusaha dan karyawan swasta yang terdampak kebijakan fatal pemerintah saat ekonomi sedang memburuk,” kata dia.
Terkait penundaan pengangkatan CPNS, Guru Besar Bidang Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Prof. Dr. Zulfikar, S.E., M.Si., turut menanggapi masalah ini.
Zulfikar mengkritisi pemerintah karena dianggap tidak memiliki strategi yang jelas dalam menangani penundaan ini. Menurutnya, alasan pemerintah yang menyatakan ketidaksiapan dalam pengangkatan CPNS dan PPPK sebagai penyebab penundaan adalah “cara-cara bodoh” dan merugikan semua lapisan masyarakat.
Dilansir dari news.ums.ac.id, Guru Besar UMS itu menjelaskan, pemerintah daerah telah menyusun perencanaan anggaran dan program jangka panjang secara terstruktur.
Namun, penundaan pengangkatan CPNS dan PPPK berpotensi menghambat proses tersebut, karena pengangkatan calon ASN sudah menjadi bagian dari target serta alokasi anggaran tahunan.
“Ketika ini ditunda, pengelolaan anggaran akan terganggu, yang bisa berisiko pada laporan keuangan dan pencapaian kinerja,” jelasnya.
Zulfikar menekankan pentingnya transparansi dalam pengelolaan anggaran pemerintah. Ia berpendapat, anggaran yang telah disepakati bersama DPR seharusnya dijalankan secara konsisten, dan pemerintah perlu menghindari alasan-alasan yang tidak rasional dalam pengambilan keputusan anggaran.