logo
Ikuti Kami di:

Meraba Nasib Perbankan Nasional di Tengah Kekhawatiran Anjloknya Nilai Rupiah

Meraba Nasib Perbankan Nasional di Tengah Kekhawatiran Anjloknya Nilai Rupiah
Ilustrasi orang di luar bank. (Freepik)
Idham Nur Indrajaya11 April, 2025 17:31 WIB

JAKARTA - Pelemahan nilai tukar rupiah yang sempat menyentuh angka Rp17.000 per dolar AS beberapa waktu lalu menimbulkan kekhawatiran di berbagai sektor, termasuk sektor perbankan. Namun, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memastikan bahwa eksposur risiko nilai tukar di industri perbankan Indonesia masih tergolong rendah dan terkendali.

Menurut Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, posisi Devisa Neto (PDN) bank pada Februari 2025 tercatat hanya sebesar 1,55%, jauh di bawah ambang batas maksimal sebesar 20%. 

"Ini dapat dimaknai bahwa eksposur langsung bank terhadap risiko nilai tukar itu relatif kecil," ujar Dian dalam konferensi pers Rapat Dewan Komisioner Bulanan (RDKB) OJK yang diselenggarakan secara virtual, Jumat, 11 April 2025. 

Ia juga menjelaskan bahwa sebagian besar kredit valas disalurkan kepada sektor ekspor yang penerimaannya juga dalam bentuk valuta asing, sehingga menciptakan kondisi "naturally hedged". Posisi devisa neto bank pun berada dalam kondisi "long", yang artinya nilai aset bank justru meningkat saat rupiah melemah. Hal ini berdampak positif terhadap profitabilitas bank.

Lebih lanjut, Dian menyampaikan bahwa pertumbuhan kredit valas per Februari 2025 tumbuh sebesar 16,30% (yoy), lebih tinggi dibanding pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) valas yang hanya tumbuh 7,09% (yoy). Akibatnya, Loan to Deposit Ratio (LDR) valas meningkat menjadi 81,43% dari sebelumnya 74,98%.

OJK Lakukan Pengawasan Intensif di Tengah Volatilitas Global

Menyikapi kondisi pasar global yang volatil, OJK menerapkan pendekatan pengawasan yang lebih intensif terhadap masing-masing bank. "Kita lebih banyak melakukan pengawasan secara individual dan konsultasi langsung, terutama ketika ada perubahan kondisi global maupun domestik," terang Dian.

Bank-bank juga diwajibkan menerapkan manajemen risiko yang kuat, termasuk melakukan stress test secara berkala dengan berbagai skenario. Sesuai ketentuan OJK, bank juga diminta membentuk tambahan modal sebagai buffer untuk mengantisipasi potensi krisis keuangan akibat fluktuasi nilai tukar.

Kinerja Perbankan Januari-Februari 2025 Masih Solid

Memasuki tahun 2025, kinerja perbankan nasional menunjukkan tren positif. Pada Januari-Februari 2025, indikator utama perbankan tetap kuat, ditopang oleh ketahanan permodalan dan profitabilitas yang terjaga.

"Capital adequacy ratio (CAR) perbankan tercatat sebesar 26,98% pada Februari 2025, menunjukkan permodalan yang sangat kuat. Return on Asset (ROA) juga berada di angka 2,41%," jelas Dian. Sementara itu, rasio kredit bermasalah (NPL) tercatat sebesar 2,22%, jauh di bawah ambang batas 5%. Loan at Risk (LaR) pun menurun menjadi 9,77%.

Likuiditas perbankan juga dinilai cukup memadai. "Liquidity coverage ratio (LCR) perbankan mencapai 210,14%, jauh di atas kewajiban minimum sebesar 100%," tambah Dian. Adapun rasio AL/DPK dan AL/NCD masing-masing tercatat sebesar 26,35% dan 116,76%, menunjukkan kekuatan likuiditas yang sehat.

Proyeksi Kinerja Kuartal I-2025 dan Momentum Ramadan

OJK optimis bahwa kinerja perbankan akan tetap terjaga hingga akhir kuartal pertama 2025. Pertumbuhan DPK diperkirakan akan meningkat, seiring dengan masuknya dana pemerintah dan strategi bank dalam menghimpun dana. Hal ini akan mendukung pertumbuhan kredit serta meningkatkan ketersediaan likuiditas.

Hasil Survei Orientasi Bisnis Perbankan (SBPO) OJK juga menunjukkan optimisme pelaku industri terhadap prospek kuartal I-2025. Faktor musiman seperti bulan Ramadan dan Idul Fitri diprediksi mendorong peningkatan aktivitas usaha dan permintaan kredit.

Tantangan Perbankan Masih Mengintai

Meski demikian, OJK mengingatkan bahwa tantangan global tetap menjadi risiko signifikan bagi perbankan. "Ketidakpastian global seperti kebijakan tarif impor dari Presiden Trump berpotensi menimbulkan inflasi dan berdampak pada suku bunga global," kata Dian.

Ia menambahkan bahwa peningkatan tarif impor juga dikhawatirkan dapat menekan kinerja sektor industri dan menyebabkan perlambatan ekonomi serta peningkatan pengangguran. Untuk itu, OJK meminta bank senantiasa memantau perkembangan ekonomi dan melakukan stress test guna memitigasi risiko yang mungkin muncul.