Bagikan:
Bagikan:
JAKARTA – Instrumen Devisa Hasil Ekspor (DHE) yang diterbitkan Bank Indonesia (BI) semakin menarik perhatian pelaku pasar. Selain DHE, perbankan juga menawarkan produk deposito.
Sementara instrumen lain seperti Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) turut hadir dengan imbal hasil yang kompetitif. Namun, apakah kebijakan ini akan memicu persaingan likuiditas dan crowding out effect?
Menurut ASEAN Economist UOB, Enrico Tanuwidjaja, potensi persaingan likuiditas antara DHE, SRBI, dan deposito perbankan tetap ada, terutama mengingat tingginya imbal hasil yang ditawarkan SRBI.
“Jika melihat historisnya, SRBI memang memiliki return yang luar biasa. Namun, kita harus melihatnya secara menyeluruh,” ujar Enrico dalam acara UOB Media Literacy Circle bertajuk “Investasi via Digital: Strategi Kelas Menengah di Tengah Biaya Hidup Tinggi dan Gejolak Pasar“ di Jakarta, Selasa, 11 Maret 2025.
Ia menambahkan bahwa kebijakan-kebijakan finansial yang diluncurkan antara 25 hingga 28 Februari memiliki tujuan utama untuk mendalamkan pasar finansial.
Dengan semakin banyaknya kanal pembiayaan investasi, diharapkan likuiditas pasar semakin kuat dan mampu menopang pertumbuhan ekonomi nasional.
Lebih lanjut, Enrico menjelaskan bahwa kebijakan DHE sejalan dengan Pasal 33 UUD 1945 yang menegaskan bahwa kekayaan alam harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.
“DHE ini adalah kebijakan untuk membawa kembali apa yang memang seharusnya menjadi milik kita,” tegasnya.
Meski demikian, ia menilai bahwa produk DHE masih memiliki ruang untuk perbaikan, terutama dalam hal peningkatan imbal hasil agar lebih menarik bagi investor.
“Kalau kita bisa menawarkan produk yang lebih sesuai dengan profil risiko institusi, tentu daya tariknya akan lebih besar. Saat ini, banyak instrumen di luar negeri yang lebih kompetitif,” katanya.
Enrico juga menyoroti pentingnya sinergi antara Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan pemerintah dalam merancang kebijakan finansial.
“Kita perlu mendanai investasi agar bisa menurunkan Incremental Capital Output Ratio (ICOR) dan meningkatkan rasio investasi terhadap PDB. Ini semua butuh pendanaan,” jelasnya.
Menurutnya, DHE bisa menjadi salah satu instrumen untuk memperkuat likuiditas valuta asing di Indonesia. “Selama ini devisa kita cenderung tidak bertahan lama di dalam negeri. Oleh karena itu, kebijakan ini perlu dirancang agar dapat membuat likuiditas valas lebih stabil,” ujarnya.
Dalam jangka panjang, Enrico menekankan bahwa keberlanjutan kebijakan ini akan sangat bergantung pada bagaimana likuiditas tersebut dikelola. “Bank tetap akan menjadi agen utama dalam distribusi likuiditas. Namun, ke mana akhirnya dana ini akan dialirkan, itu yang perlu dipikirkan lebih variatif,” katanya.
Ia juga menyoroti pentingnya inovasi dalam sektor keuangan. “Apakah korporasi bisa ikut menawarkan produk yang menarik? Itu bisa menjadi opsi yang dipertimbangkan. Semua ini adalah bagian dari inovasi keuangan yang harus kita pikirkan demi kepentingan jangka panjang,” imbuhnya.
Enrico menegaskan bahwa kebijakan ini bukan hanya untuk generasi saat ini, tetapi juga untuk masa depan Indonesia. “Kita perlu membangun likuiditas yang kuat dan menciptakan mesin investasi yang mampu meningkatkan kepercayaan serta pertumbuhan ekonomi. Mindset jangka panjang harus dimulai dari sekarang,” pungkasnya.