Bagikan:
Bagikan:
JAKARTA- Mandalay dulunya dikenal sebagai kota emas. Kota ini dihiasi pagoda berkilauan dan gundukan pemakaman Buddha, tetapi udara di bekas ibu kota kerajaan Myanmar itu sekarang berbau mayat.
Begitu banyak mayat yang menumpuk sejak gempa berkekuatan 7,7 skala Richter melanda Jumat 28 Maret 2025 lalu di dekat Mandalay. Bahkan mayat-mayat tersebut harus dikremasi secara bertumpuk.
Menurut kepala militer Myanmar jumlah korban tewas akibat gempa dan serangkaian gempa susulan telah meningkat hingga melewati 2.700. Sementara 4.521 orang terluka dan ratusan orang masih hilang, kata. Angka-angka tersebut diperkirakan akan terus bertambah.
Penduduk di kota terpadat kedua di negara itu mengatakan mereka telah menghabiskan malam-malam tanpa tidur. Mereka berkeliaran di jalan karena putus asa karena persediaan makanan dan air menipis. Orang tua yang hatinya hancur memanggil nama anak-anak mereka di prasekolah yang dilanda gempa bumi
Seorang warga Mandalay bercerita tentang jasad yang dikremasi secara bertumpuk. Dia kehilangan bibinya akibat gempa. "Namun jasadnya baru berhasil dikeluarkan dari reruntuhan dua hari kemudian, tepatnya pada tanggal 30 Maret," ujar mahasiswi berusia 23 tahun yang hanya ingin dikenal dengan nama J.
Infrastruktur yang buruk dan berbagai konflik sipil sangat menghambat upaya bantuan di Myanmar, di mana militer memiliki sejarah dalam menekan skala bencana nasional. Jumlah korban tewas diperkirakan akan terus meningkat karena tim penyelamat mendapatkan akses ke lebih banyak bangunan yang runtuh dan distrik yang terisolasi. J, yang tinggal di distrik Mahaaungmyay, Mandalay, merasa pusing karena kurang tidur.
Banyak penduduk yang tinggal di tenda-tenda - atau tidak sama sekali - di sepanjang jalan. Ini karena khawatir rumah-rumah yang tersisa tidak akan mampu menahan gempa susulan. "Saya melihat banyak orang, termasuk saya sendiri, meringkuk dan menangis sekeras-kerasnya di jalan," kata J.
Namun, korban selamat masih ditemukan di kota itu. Dinas pemadam kebakaran mengatakan telah menyelamatkan 403 orang di Mandalay dalam empat hari terakhir, dan menemukan 259 jenazah. Jumlah korban sebenarnya diperkirakan jauh lebih tinggi daripada versi resmi.
Dalam pidato yang disiarkan televisi pada hari Selasa 1 Maret 2025, panglima militer Min Aung Hlaing mengatakan jumlah korban tewas mungkin melebihi 3.000. Sementara Survei Geologi AS mengatakan pada hari Jumat jumlah korban tewas lebih dari 10.000 merupakan kemungkinan yang kuat berdasarkan lokasi dan kekuatan gempa.
Seorang pendeta setempat mengatakan kepada BBC bahwa putranya yang berusia delapan tahun tiba-tiba menangis beberapa kali dalam beberapa hari terakhir. Ini setelah menyaksikan bagian-bagian lingkungan tempat tinggalnya terkubur di bawah reruntuhan dalam sekejap.
"Dia berada di kamar tidur di lantai atas saat gempa terjadi, dan istri saya sedang menjaga adik perempuannya, jadi ada beberapa puing yang jatuh menimpanya," kata Ruate yang hanya menyebutkan nama depannya.
"Kemarin kami melihat mayat-mayat dibawa keluar dari bangunan-bangunan yang runtuh di lingkungan kami," kata Ruate, yang tinggal di daerah Pyigyitagon.
"Ini sangat menyadarkan. Myanmar telah dilanda begitu banyak bencana, sebagian bencana alam, sebagian lagi bencana buatan manusia. Semua orang menjadi sangat lelah. Kami merasa putus asa dan tidak berdaya."
Seorang biksu yang tinggal di dekat kondominium Sky Villa mengatakan kepada BBC bahwa meskipun beberapa orang berhasil ditarik keluar dalam keadaan hidup, "hanya mayat yang berhasil ditemukan" dalam 24 jam terakhir,” katanya. Sky Villa salah satu bangunan yang paling parah terkena dampak dan berkurang dari 12 lantai menjadi enam lantai akibat gempa bumi,
"Saya berharap ini akan segera berakhir. Masih banyak [mayat] di dalam, saya kira lebih dari seratus," katanya.
Krematorium di dekat Mandalay telah kewalahan, sementara pihak berwenang kehabisan kantong jenazah, di antara persediaan lainnya, termasuk makanan dan air minum.
Di sekeliling kota, sisa-sisa pagoda yang hancur dan menara emas berjejer di sepanjang jalan. Meskipun Mandalay dulunya merupakan pusat utama produksi daun emas dan tujuan wisata yang populer, kemiskinan di kota ini telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Seperti di tempat lain di Myanmar (sebelumnya disebut Burma).
Gempa bumi minggu lalu juga berdampak pada Thailand dan China, tetapi dampaknya sangat dahsyat di Myanmar. Negara yang telah dilanda perang saudara berdarah, ekonomi yang lumpuh, dan kekecewaan yang meluas sejak militer mengambil alih kekuasaan melalui kudeta pada tahun 2021.
Pada hari Selasa, Myanmar mengheningkan cipta selama satu menit untuk mengenang para korban, sebagai bagian dari masa berkabung nasional selama seminggu. Junta militer meminta agar bendera dikibarkan setengah tiang, siaran media dihentikan, dan meminta masyarakat untuk memberikan penghormatan terakhir.
Bahkan sebelum gempa, lebih dari 3,5 juta orang telah mengungsi di negara tersebut. Ribuan orang lainnya, kebanyakan dari mereka adalah kaum muda, telah melarikan diri ke luar negeri untuk menghindari wajib militer. Ini berarti lebih sedikit orang yang dapat membantu pekerjaan bantuan, dan pembangunan kembali negara selanjutnya.
Rusia dan China, yang telah membantu menopang rezim militer Myanmar, termasuk di antara negara yang telah mengirimkan bantuan dan dukungan spesialis. Namun bantuannya lambat, kata J. "[Tim penyelamat] telah bekerja tanpa henti selama empat hari dan saya rasa mereka sedikit lelah. Mereka juga butuh istirahat.”
Namun karena kerusakannya sangat parah, dan sumber daya kami terbatas. Ini menjadikan para pekerja bantuan kesulitan menangani kerusakan besar seperti itu secara efisien.
Walaupun junta telah mengatakan bahwa semua bantuan akan diterima, sejumlah pekerja kemanusiaan melaporkan adanya tantangan dalam mengakses daerah yang dilanda gempa.
Media lokal di Sagaing, episentrum gempa, telah melaporkan pembatasan yang diberlakukan oleh otoritas militer. Pemerintah mengharuskan organisasi untuk menyerahkan daftar relawan dan barang-barang yang ingin mereka bawa ke daerah tersebut.
Beberapa kelompok hak asasi manusia, termasuk Human Rights Watch dan Amnesty International, telah mendesak junta untuk mengizinkan pekerja bantuan akses segera ke daerah-daerah ini.
"Junta militer Myanmar masih menimbulkan rasa takut, bahkan setelah bencana alam mengerikan yang menewaskan dan melukai ribuan orang," kata Bryony Lau, wakil direktur Human Rights Watch untuk Asia.
"Junta perlu menghentikan praktik buruknya di masa lalu dan memastikan bantuan kemanusiaan segera sampai ke tangan mereka yang terancam jiwanya di wilayah yang terkena dampak gempa bumi," katanya. Junta juga menuai kritik karena terus menembaki desa-desa meskipun negara tersebut masih dilanda bencana.