logo
Ikuti Kami di:

Krisis Kripto Awal Pekan: Bitcoin Anjlok 7 Persen di Tengah Tekanan Tarif AS

Krisis Kripto Awal Pekan: Bitcoin Anjlok 7 Persen di Tengah Tekanan Tarif AS
Ilustrasi Bitcoin (Reuters/Dado Ruvic)
Alvin Bagaskara07 April, 2025 13:01 WIB

JAKARTA - Harga Bitcoin mengalami penurunan tajam pada awal pekan ini, dipicu oleh meningkatnya kekhawatiran global terhadap kebijakan ekonomi Amerika Serikat. Di pasar, harga Bitcoin sempat jatuh sekitar 7% ke kisaran US$77.077. 

Ether, sebagai mata uang kripto terbesar kedua, juga tergelincir ke level US$1.538, yang merupakan titik terendahnya sejak Oktober 2023. Meskipun kemudian terjadi sedikit pemulihan, sentimen negatif masih mendominasi pasar kripto.

Aksi jual besar-besaran ini berkaitan erat dengan keputusan Presiden AS Donald Trump yang kembali mengusung kebijakan tarif tinggi terhadap sejumlah negara mitra dagang. Langkah ini langsung berdampak pada penurunan tajam nilai saham-saham di Wall Street. 

Kondisi tersebut justru memperkuat posisi mata uang safe haven seperti yen Jepang. Selain itu, ketegangan ini turut memicu keresahan investor yang akhirnya memilih melepas aset berisiko, termasuk mata uang kripto.

Charlie Sherry, analis utama di BTC Markets, menjelaskan bahwa volatilitas tinggi pasar kripto yang berjalan tanpa henti selama 24 jam membuat respons investor berlangsung sangat cepat. Sentimen negatif yang muncul pada akhir pekan segera direspons dengan aksi jual pada hari Minggu.

Data dari platform analisis derivatif Coinglass mencatat terjadinya likuidasi posisi beli (long) senilai US$758 juta dalam kurun waktu 24 jam. Ini menjadi angka tertinggi dalam hampir enam minggu terakhir, menandakan bahwa banyak trader kripto yang tidak siap menghadapi tekanan mendadak tersebut.

Menurut Sean McNulty dari FalconX, lonjakan permintaan atas kontrak opsi jual (put options) menunjukkan bahwa pelaku pasar memperkirakan penurunan harga akan berlanjut. Ia menambahkan titik support penting bagi Bitcoin dan Ether berada di sekitar US$75.000 dan US$1.500.

Sebelumnya, sempat ada optimisme bahwa aset kripto dapat bertahan sebagai alternatif terhadap saham teknologi, terutama setelah menunjukkan ketahanan pasca pengumuman tarif. Namun, kejatuhan terbaru ini kembali mengindikasikan bahwa korelasi erat antara kripto dan indeks Nasdaq 100—yang terbentuk sejak pandemi—masih belum terputus sepenuhnya.

Julia Zhou, Chief Operating Officer Caladan, menyoroti peran kripto sebagai barometer awal terhadap gejolak aset berisiko. Ia menyatakan bahwa penurunan pasar kripto bisa menjadi pertanda koreksi lebih luas di bursa saham saat pembukaan perdagangan AS.

Di sisi lain, dampak kebijakan tarif tersebut juga mulai dirasakan di negara-negara berkembang. Nilai tukar rupiah, misalnya, tercatat melemah terhadap dolar AS hingga melampaui titik terendah yang pernah dicapai pada masa krisis 1998. Situasi ini menimbulkan kekhawatiran lanjutan terhadap kestabilan sektor finansial di kawasan Asia Tenggara.

Ketidakpastian ini juga membayangi subsektor lain dalam ekosistem kripto seperti DeFi, stablecoin, dan NFT. Walaupun sempat menunjukkan tanda-tanda pemulihan awal tahun ini, ketahanan sektor-sektor tersebut kini kembali diuji oleh tekanan ekonomi makro dan kebijakan proteksionis AS.

Para analis menyarankan agar investor tetap berhati-hati dalam menyikapi dinamika pasar saat ini. Meskipun prospek jangka panjang teknologi blockchain dan kripto masih dinilai menjanjikan, volatilitas tinggi dalam jangka pendek menuntut strategi investasi yang lebih konservatif dan berbasis analisis risiko yang kuat.