logo
Ikuti Kami di:

Kawal Terus Kasus Pagar Laut, Jangan Sampai Tenggelam

Kawal Terus Kasus Pagar Laut, Jangan Sampai Tenggelam
Andi Reza Rohadian26 Februari, 2025 22:01 WIB

Gegap gempita dukungan masyarakat terhadap aksi demo Indonesia Gelap pekan lalu jangan sampai menenggelamkan kasus pagar laut. Bagaimana tidak? Peristiwa kebakaran yang melanda Kantor Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menguap begitu saja tanpa kabar pengusutan dari penegak hukum. Dan yang lebih parah, pada hari terakhir demo, Jumat 21 Februari,  terkuak kabar Menteri ATR/BPN Nusron Wahid membatalkan pencabutan Surat Hak Guna Bangunan (SHGB) milik pengusaha Sugianto Kusuma alias Aguan.

Perusahaan milik Aguan melalui Agung Sedayu Group yang disebutkan batal dicabut SHGB-nya adalah PT Intan Agung Makmur (IAM) dan PT Cahaya Inti Sentosa (CIS). Dikabarkan ada 58 sertifikat SHGB berada di dalam garis pantai. Salah satunya punya CIS “Jadi tidak bisa dibatalkan,” ujar Nusron, seperti dikutip dari Bisnis Indonesia. Di pagar laut sepanjang 30,16 kilometer IAM mengantongi 234 bidang dan CIS menguasai 20 bidang.

Kabar pembatalan SHGB itu juga meruyak di media-media arus utama, Minggu 23 Februari 2024. Bahkan pada hari yang sama, di jagat media sosial bertebaran kabar Mabes Polri menyampaikan Aguan dan Agung Sedayu Group tidak terlibat dalam pemagaran laut.

Di hari itu juga Nusron sontak membantah kabar tersebut. “Saya katakan berita itu tidak benar,” sanggahnya. Ia lalu menegaskan seluruh sertifikat yang berada di luar garis pantai akan dibatalkan tanpa memandang siapa pemiliknya.

Sejauh ini, dari 263 SHGB dan 17 SHM, terdapat 209 sertifikat yang berada di luar garis pantai. “Seluruh sertifikat yang berada di luar garis pantai sudah dibatalkan,” ujarnya.

Dalam perkara ini Nusron sudah memecat enam pegawai ATR/BPN. Ada pun Mabes Polri sejak Senin, 24 Februari 2025, sudah menahan empat tersangka, yakni, Arsin bin Asip Kepala Desa Kohod serta Sekretaris Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Ujang Karta, Septian Prasetyo dan Chandra Eka AW selaku pihak ketiga penerima kuasa. 

Seiring dengan itu penyidik Badan Reserse Kriminal (Bareskrim)  sudah memeriksa 25 saksi terkait dugaan pemalsuan 95 SHM di Desa Segarajaya, kecamatan Tarumajaya, Jawa Barat.

Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Mabes Polri Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro berjanji penyidik akan terus mengembangkan keterkaitan perkara. “Polri akan melaksanakan sesuai yang diharapkan oleh publik, sampai tuntas,” katanya.

Janji ini tentu wajib dikawal. Sebab, sejak munculnya kasus pagar laut berbagai kejanggalan meruyak ke permukaan. Salah satunya, sekelompok nelayan yang mengaku sebagai pihak yang memasang pagar laut. Padahal dari luas wilayah yang dipagari mustahil nelayan mampu membiayai sendiri.

Sejak kemunculan pagar laut mereka hanya bisa mendapatkan nafkah Rp70.000 per hari. Sebelum kehadiran bambu misterius itu mereka bisa menangguk Rp300.000 per hari.

Dengan penghasilan sebesar itu tentu tak masuk akal nelayan mampu membiayai pembuatan pagar laut. Mengacu pada harga bambu, ditaksir biaya yang dihabiskan dalam pembuatan pagar laut itu mencapai Rp4,7 miliar.    

Mustahil Tak Melibatkan Pejabat Tinggi

Selain sekelompok orang yang mengaku sebagai nelayan pembuat pagar laut, TNI AL juga bertindak sangat sigap. Atas instruksi Presiden Prabowo Subianto mereka membongkar pagar laut.

Padahal dalam teknik pengusutan, pagar laut itu semestinya dibiarkan dulu sebagai barang bukti. Beri kesempatan aparat penyidik bekerja, baru setelah semua data dan bukti terkumpul pagar boleh dibongkar.

Tapi melihat lambannya polisi bertindak, sikap TNI AL bisa dipahami. Menyikapi kasus ini, suasana batin masyarakat tampaknya sulit memberi kepercayaan kepada pemerintah. Alhasil jika tak segera bersikap, kredibilitas Presiden Prabowo Subianto yang baru melalui 100 hari bisa melorot tajam. Apalagi dia sudah berjanji meningkatkan wibawa hukum dan kalau perlu mengejar koruptor sampai Antartika.

Sekarang kita tunggu bagaimana Mabes Polri menangani kasus ini. Janji menangani kasus ini sesuai harapan publik adalah utang yang harus terus ditagih.

Kasus ini memang tidak sederhana. Mana mungkin penerbitan SHGB dan SHM sebanyak itu hanya dikerjakan oleh Inspektorat BPN, Panitia A, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Tangerang, Kepala Seksi Kantor Pertanahan Tangerang dan Kepala Seksi Penetapan Kantor Pertanahan Tangerang.   

Yang perlu diusut, kapan pengajuan permohonan sertifikat itu, bagaimana proses pengukuran lahan serta tanggal, bulan, tahun SHGB dan SHM diterbitkan. Berapa lama waktu pengerjaan surat-surat tanah tersebut?

Perlu ditanyakan apa ada “titipan khusus” dalam permohonan SHGB dan SHM itu? Nah kalau ada, tentu penyidik bisa menelusuri ke atasan langsung para tersangka, bahkan kalau perlu hingga ke level menteri yang saat itu menjabat.

Rasa-rasanya mustahil permainan ini tak melibatkan pejabat tinggi, mengingat proyek milik Aguan ada yang berstatus Proyek Strategis Nasional (PSN). Bagaimana mungkin proyek swasta bisa menyandang status PSN jika tak memiliki  hubungan yang intim dengan penguasa.  

Demi Menjaga Wajah Presiden

Sebagaimana diketahui, Aguan juga tercatat sebagai salah satu investor di Ibu Kota Nusantara (IKN). Selain hotel bintang lima, Grup Agung Sedayu akan membangun pusat perbelanjaan dan kebun raya.

Ia bahkan sangat getol meyakinkan rekan-rekan sesama konglomerat untuk menanamkan duitnya di IKN. Hingga kini ada sejumlah grup bisnis besar yang disebut ingin menangguk cuan di IKN. Selain Agung Sedayu milik Aguan, mereka adalah Barito Pacific, Mulia, Salim, Astra, Sinar Mas, Kawan Lama, Wings, Djarum, Alfamart, Adaro dan Pulau Intan.

Kehadiran Agung Sedayu di proyek senilai Rp466 triliun itu sendiri, ungkap Aguan saat diwawancara Majalah Tempo, demi menjaga wajah Presiden. Ia mengaku, dirinya dan kolega sesama konglomerat tak kuasa menolak permintaan Joko Widodo untuk berinvestasi di IKN. ”Itu perintah,” ungkapnya.

Mungkin Aguan di hadapan Joko Widodo menyatakan dengan senang hati untuk membantu. Tapi sebagai pengusaha tentu dia juga punya kartu untuk disodorkan ke presiden.

Seperti kata sebuah ungkapan lawas: Tidak Ada Makan Siang Gratis.