Bagikan:
Bagikan:
JAKARTA - Insiden terbaru yang menimpa redaksi Tempo, di mana kantor mereka menerima paket berisi kepala babi dan bangkai tikus, memicu perhatian luas.
Kejadian ini dinilai sebagai bentuk teror terhadap kebebasan pers di Indonesia. Namun yang turut menjadi sorotan adalah pernyataan Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (Presidential Communication Office/PCO), Hasan Nasbi, yang dianggap kontroversial dan minim empati.
Dalam komentarnya, Hasan menilai insiden tersebut tidak perlu dibesar-besarkan agar tidak memberikan kemenangan bagi pelaku teror. Dia bahkan menyebut isi paket itu sebaiknya dimasak. Hasan juga menyebut rangkaian teror ke Tempo bukan menjadi ancaman sistemik bagi kebebasan pers.
Ungkapan ini langsung memicu gelombang reaksi di media sosial. Banyak pihak menilai sikapnya tidak mencerminkan kepekaan terhadap kebebasan pers dan ancaman yang dihadapi jurnalis.
"Kalau orang kirim (paket) itu sebagai teror, ternyata bahan makanan dia dimasak ajalah. Peneror kan pasti stres kalau bahan kiriman dia dimasak kan gitu," ujar Hasan dalam keterangan tertulis kepada media di Jakarta, dikutip Minggu, 23 Maret 2025.
Komentar Hasan dinilai sebagai bentuk kelalaian komunikasi publik yang berpotensi memperburuk situasi. Alih-alih memberikan jaminan perlindungan terhadap pers, pernyataannya justru dianggap meremehkan ancaman nyata yang dihadapi Tempo.
"Jangan sampai kita justru ikut membesar-besarkan ketakutan, karena itu target si peneror. Kita harus mengecilkan dia. Menurut saya cara yang paling tepat untuk mengecilkan peneror itu, ya dimasak aja kirimannya dia kan gitu," kata Hasan menambahkan.
Dalam konteks ini, publik menyoroti pemerintah seharusnya hadir memberikan jaminan keamanan bagi media yang berperan sebagai pilar demokrasi.
Terlepas dari kontroversi yang muncul, Tempo tetap menunjukkan konsistensinya dalam mempertahankan kebebasan pers. Insiden semacam ini bukan kali pertama mereka hadapi.
Sebelumnya, Tempo telah beberapa kali menjadi sasaran intimidasi, termasuk serangan digital dan ancaman fisik, tetapi mereka tetap berdiri teguh.
Publik dan komunitas pers menuntut respons yang lebih serius dari pemerintah terkait keamanan jurnalis dan kebebasan pers di Indonesia. Komentar kontroversial dari pejabat tinggi seperti Hasan Nasbi menambah keraguan terhadap komitmen pemerintah dalam melindungi media.
Hasan Nasbi juga menegaskan bahwa tidak ada pembatasan terhadap jurnalis, termasuk mereka yang bersikap kritis terhadap pemerintah.
"Enggak ada yang dilarang masuk Istana gara-gara kritis. Enggak ada. Enggak ada yang dilarang liputan misalnya di kantor-kantor pemerintahan gara-gara kritis. Enggak ada. Jadi kalau bagi pemerintah itu sudah bukti nyata (mendukung kebebasan pers)," jelas Hasan.
Sementara itu, Presiden Prabowo Subianto disebut tidak membahas secara khusus insiden ini. Menurut Hasan, hal ini bukan karena mengabaikan kasus tersebut, tetapi lebih kepada sikap bahwa kejadian ini bukanlah ancaman sistemik terhadap kebebasan pers.
Di sisi lain, Dewan Pers mengambil sikap yang lebih tegas dengan mengecam aksi teror ini. Dewan Pers menilai insiden ini sebagai ancaman nyata terhadap kebebasan pers. Mereka meminta aparat penegak hukum mengusut tuntas siapa pun yang berada di balik aksi ini.