logo
Ikuti Kami di:

Industri Limbung, 88 Persen Pengusaha Hotel Bakal PHK Karyawan

Industri Limbung, 88 Persen Pengusaha Hotel Bakal PHK Karyawan
Ilustrasi Hotel
Chrisna Chanis Cara24 Maret, 2025 21:01 WIB

JAKARTA—Sebanyak 88% pengusaha hotel ancang-ancang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dampak efisiensi anggaran pemerintah. Langkah itu harus diambil karena industri hotel mengalami penurunan pendapatan tahunan hingga 30%. 

Hal ini terungkap dalam survei "Sentimen Pasar Dampak Kebijakan Penghematan Anggaran Pemerintah" oleh Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), dikutip Senin, 24 Maret 2025. 

Tak hanya karena penurunan pendapatan, survei menyebutkan PHK harus diambil karena pengusaha hotel mengantisipasi potensi gagal bayar pinjaman kepada bank.  Ada 58% responden pengusaha hotel yang menyebutkan alasan tersebut. 

Bahkan, sekitar 48% pengusaha hotel memproyeksikan penutupan hotel karena defisit operasional. Sebagai informasi, survei dilakukan kepada 726 responden yang notabene pemilik tempat penginapan dengan jumlah 178 kamar per properti. 

Sebanyak 45% responden merupakan pengusaha hotel bintang empat dan mayoritas (56%) berasal dari Pulau Jawa. PHRI membeberkan langkah PHK diambil karena para pengusaha mengalami penurunan pendapatan secara tahunan sampai 30%. 

Sewa Ruang Pertemuan Minim

Secara total, 60,48% responden meyakini akan mencatat kerugian pada 2025. Adapun 56% responden percaya pendapatan akan susut antara 10% hingga 30%. Lebih dari 50% pengusaha hotel memprediksi penyusutan pendapatan mengingat pemerintah akan meneruskan implementasi Inpres Nomor 1 Tahun 2025, tentang efisiensi anggaran, sampai kuartal ketiga 2025.

Sekitar 42% responden menyampaikan minimnya penggunaan ruang pertemuan menjadi faktor terbesar dari implementasi Inpres tersebut. "Hal ini dapat dipahami karena permintaan terkait agenda pemerintah merupakan kontribusi utama terhadap permintaan fasilitas ruang pertemuan," tulis survei tersebut.

PHRI dan Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) meminta pemerintah segera memberikan relaksasi pajak, bantuan finansial, serta meningkatkan promosi pariwisata. Hal itu dinilai krusial untuk membantu sektor pariwisata, khususnya perhotelan, yang terdampak efisiensi anggaran. 

“Kami mendesak pemerintah segera memberikan intervensi,” ujar Ketua Bidang Litbang dan IT Badan Pimpinan Pusat (BPP) PHRI, Christy Megawati, dalam konferensi pers di Jakarta, akhir pekan lalu. 

Christy tak menampik kebijakan efisiensi anggaran Presiden Prabowo Subianto telah berdampak signifikan terhadap operasional hotel dan berpotensi menimbulkan kerugian besar. “Di sektor perhotelan yang memiliki banyak karyawan, hal ini berisiko menyebabkan defisit operasional, bahkan sampai penutupan hotel,” ujar Christy.

Baca Juga: Jumlah Pemudik Anjlok, Efisiensi dan Pelemahan Ekonomi Jadi Biangnya

Ketua Umum PHRI, Hariyadi Sukamdani, mengatakan pemerintah sudah tidak menggelar acara apapun sejak Januari 2025 di hotel kota-kota besar Indonesia. Pihaknya mengaku telah berkirim surat pada Presiden serta Menteri Keuangan, Sri Mulyani terkait hal itu. Namun hingga kini belum ada respons. 

Berdasarkan hitungannya, dampak pemotongan anggaran menimbulkan potensi kerugian hingga Rp24,8 triliun per tahun. Angka itu terdiri dari akomodasi dan keperluan rapat atau pertemuan. “Hitungan kami, akomodasi saja potensinya bisa hilang Rp16,538 triliun. Untuk meeting sekitar Rp8,26 triliun,” kata Hariyadi. 

Nilai potensi kerugian itu setara 40% okupansi hotel secara nasional dan 70% pangsa pasar pemerintah di daerah. “Dampaknya akan signifikan dan sangat terasa,” ujarnya. PHRI mengusulkan semua penawaran dari jasa akomodasi dan ruang rapat dimasukkan dalam katolog Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) dan didigitalkan. 

"Ini untuk memaksimalkan pengelolaan anggaran," kata Haryadi. Hariyadi mengatakan efisiensi anggaran pemerintah akan berdampak signifikan bagi sektor hotel dan restoran di Indonesia.