Bagikan:
Bagikan:
JAKARTA — Ketika Amerika Serikat memberlakukan tarif tinggi terhadap produk-produk Indonesia, pemerintah mendorong strategi diversifikasi ekspor ke kawasan potensial seperti Afrika dan Timur Tengah (Timteng).
Langkah ini dinilai sebagai bagian penting untuk mengurangi ketergantungan terhadap pasar tradisional seperti AS, China, dan Eropa—yang saat ini tengah menghadapi ketegangan geopolitik dan perlambatan ekonomi global.
Presiden Prabowo Subianto secara tegas menginstruksikan jajaran pemerintah dan pelaku usaha nasional untuk membuka pasar baru demi melindungi kepentingan ekonomi jangka panjang Indonesia.
Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menyatakan bahwa perluasan pasar ekspor sangat mendesak di tengah meningkatnya proteksionisme global. Ia menyoroti kebijakan tarif ganda dari AS yang mencapai total 42% (terdiri dari 32% tarif balasan dan 10% tarif umum) terhadap beberapa produk Indonesia.
"Indonesia harus memperluas pangsa pasar ekspor agar tidak bergantung pada pasar tradisional seperti China, Amerika Serikat, dan Eropa," ujar Nailul Huda di Jakarta, dikutip dari Antara, Rabu, 9 April 2025.
Menurutnya, kawasan Afrika dan Timur Tengah masih tergolong belum tergarap optimal, namun memiliki potensi besar untuk produk-produk Indonesia seperti makanan olahan, tekstil, otomotif, dan produk pertanian. "Timur Tengah dan Afrika bisa menjadi target ekspor baru yang menjanjikan," lanjut Nailul.
Presiden Prabowo juga menyoroti Afrika sebagai pasar yang sangat potensial, mengingat populasi besar dan kebutuhan tinggi akan produk konsumsi. Ia mengapresiasi langkah Salim Group yang berhasil menembus pasar Afrika melalui produk mi instan, sebagai bukti bahwa produk Indonesia mampu bersaing secara global.
Prabowo juga meminta peran aktif dari Kedutaan Besar Indonesia dan perwakilan dagang di luar negeri untuk membuka akses pasar serta menjalin kerja sama ekonomi yang konkret.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik hingga akhir 2021, ekspor Indonesia ke beberapa negara di Timur Tengah dan Afrika sudah menunjukkan angka yang signifikan:
Pasar Timur Tengah:
Uni Emirat Arab (UEA): US$1,7 miliar (±Rp28,56 triliun)
Mesir: US$1,44 miliar (±Rp24,19 triliun)
Arab Saudi: US$1,4 miliar (±Rp23,52 triliun)
Pasar Afrika:
Afrika Selatan: US$846,8 juta (±Rp14,22 triliun)
Kenya: US$494,5 juta (±Rp8,31 triliun)
Nigeria: US$421,5 juta (±Rp7,08 triliun)
Tanzania: US$339,4 juta (±Rp5,70 triliun)
Djibouti: US$275 juta (±Rp4,62 triliun)
Togo: US$232,4 juta (±Rp3,90 triliun)
Catatan: Meskipun secara geografis Mesir berada di Afrika, negara ini sering digolongkan ke dalam kawasan Timur Tengah dalam konteks perdagangan internasional.
Komoditas utama yang diekspor ke wilayah ini antara lain: minyak sawit dan turunannya, perhiasan, kendaraan bermotor, bubur kayu, serta alat komunikasi.
Indonesia telah menjalin Perjanjian Perdagangan Preferensial (Preferential Trade Agreement/PTA) dengan Mozambik yang berlaku sejak Juni 2022. Perjanjian ini mencakup pengurangan tarif impor untuk produk Indonesia seperti minyak sawit, makanan olahan, dan tekstil—memberikan keunggulan kompetitif di pasar Afrika bagian selatan.
Langkah ekspansi pasar ini tidak hanya menjadi respons terhadap kebijakan proteksionis AS, tetapi juga bagian dari strategi jangka panjang untuk memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok global.
Di tengah dinamika ekonomi global dan tekanan dari kebijakan tarif tinggi AS, diversifikasi ekspor ke Afrika dan Timur Tengah menjadi strategi vital bagi ketahanan ekonomi Indonesia.
Pemerintah dituntut untuk memperkuat peran diplomasi ekonomi, memperluas perjanjian perdagangan bilateral dan regional, serta mendukung pelaku usaha agar lebih agresif dalam menembus pasar non-tradisional.
Optimalisasi pasar ekspor baru akan membantu Indonesia mengurangi risiko eksternal, memperluas jangkauan produk unggulan, dan memperkuat kemandirian ekonomi nasional di tengah perubahan tatanan global.