logo
Ikuti Kami di:

Disahkan Pagi Ini, Berikut Daftar Kritik UU TNI

Disahkan Pagi Ini, Berikut Daftar Kritik UU TNI
Koalisi Masyarakat Sipil Reformasi Sektor Keamanan masuk ke ruang rapat Panja DPR RI yang membahas revisi UU TNI di Hotel Fairmont, Sabtu, 15 Maret 2025.
Muhammad Imam Hatami20 Maret, 2025 12:04 WIB

JAKARTA - Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang tengah dibahas di DPR menuai kritik tajam dari berbagai kalangan. 

Sejumlah organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan Komnas HAM menyatakan keprihatinan bahwa revisi ini dapat membuka peluang kembalinya dwifungsi ABRI yang telah dihapus sejak Reformasi 1998. 

Salah satu pasal yang paling disorot adalah Pasal 47 ayat 2, yang memperluas jabatan sipil yang dapat diisi oleh prajurit aktif. Penolakan ini semakin meluas lewat berbagai aksi protes yang digelar di beberapa daerah.

Di antara banjirnya penolakan revisi UU TNI, berikut beberapa rangkuman penolakan tersebut dari berbagai kalangan.

Komnas HAM

Komnas HAM menilai perubahan ini berisiko melanggar TAP MPR No. VII/MPR/2000 tentang supremasi sipil, yang mengamanatkan pemisahan peran militer dari ranah sipil. 

"Perubahan Pasal 47 ayat 2 berisiko menghidupkan kembali praktik dwifungsi TNI yang bertentangan dengan TAP MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang peran TNI dan peran Kepolisian Negara Republik Indonesia dan prinsip supremasi sipil dalam negara demokrasi," kata Koordinator Sub-Komisi Pemajuan HAM Anis Hidayah dalam konferensi pers, dikutip Kamis, 20 Maret 2025.

Akademisi

Selain itu, akademisi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Islam Indonesia (UII) menilai revisi ini berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi TNI. 

Mereka juga mengkritik proses pembahasan yang dianggap tidak transparan dan minim partisipasi publik. Sebagai bentuk protes, sejumlah akademisi dan mahasiswa di Yogyakarta menggelar aksi dengan seruan “Tolak RUU TNI” dan “Kembalikan TNI ke Barak”.

Anak Mantan Presiden

Gerakan Nurani Bangsa yang dipimpin Alissa Wahid turut mengkritik revisi UU TNI ini. Ia menilai bahwa revisi ini tidak memiliki urgensi dan justru berpotensi menjauhkan TNI dari profesionalisme. 

Alissa juga mengingatkan bahaya pembuatan undang-undang yang terburu-buru, seperti yang terjadi pada UU Cipta Kerja, yang implementasinya penuh kontroversi dan menimbulkan ketidakpastian hukum.

"Jadi kalau kami tentu permintaannya dibatalkan, bukan ditunda," tegas Alissa kala memberikan keterangan di kanal YouTube Gusdurian Tv.

Aliansi Masyarakat Sipil

Sementara itu, Aliansi Jogja Memanggil menuding bahwa revisi ini bukan hanya menghidupkan kembali dwifungsi ABRI, tetapi juga menciptakan “multifungsi militer” yang dapat mengancam kehidupan demokrasi di Indonesia. 

Mereka menilai bahwa keterlibatan TNI dalam berbagai sektor sipil merupakan pengkhianatan terhadap semangat reformasi 1998 yang bertujuan untuk membatasi peran militer dalam pemerintahan.

Penolakan Dari Luar Negeri

Penolakan terhadap revisi UU TNI juga datang dari luar negeri. Gabungan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) dari berbagai negara menyuarakan penolakannya dengan alasan bahwa proses penyusunan revisi ini dilakukan secara tertutup dan terburu-buru, tanpa melibatkan masyarakat sipil. 

PPI Denmark menyoroti pasal terkait peran TNI dalam menangani ancaman siber, yang mereka anggap dapat digunakan untuk mengekang kebebasan informasi dan demokrasi, seperti yang pernah terjadi pada pemadaman internet di Papua tahun 2019. 

PPI Belanda menilai bahwa kenaikan usia pensiun TNI dapat menghambat regenerasi kepemimpinan di dalam institusi militer. 

PPI Jerman mengkhawatirkan bahwa RUU ini dapat mengaburkan mekanisme pertanggungjawaban hukum bagi anggota TNI dalam kasus pelanggaran hukum sipil. 

Sementara itu, PPI United Kingdom menilai bahwa penguatan budaya militeristik dalam RUU ini berpotensi mempersempit ruang aspirasi publik dan membahayakan demokrasi.

Meski mendapat pembelaan dari DPR dan telah disahkan pagi ini, kritik terhadap revisi UU TNI masih terus mengalir. 

Banyak pihak mendesak agar pembahasan RUU ini dihentikan, karena dianggap dapat mengancam supremasi sipil dan prinsip demokrasi yang telah diperjuangkan sejak Reformasi 1998.