logo
Ikuti Kami di:

Diduga Manipulasi Laporan Keuangan, Bank BJB Bisa Dijerat Sanksi OJK

Diduga Manipulasi Laporan Keuangan, Bank BJB Bisa Dijerat Sanksi OJK
Ilustrasi penyusunan laporan keuangan. (Freepik)
Idham Nur Indrajaya14 Maret, 2025 11:00 WIB

JAKARTA - Kasus dugaan korupsi terkait markup dana iklan di PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk (Bank BJB) terus menjadi sorotan. Dugaan penyimpangan ini mencuat setelah ditemukan indikasi penggelembungan biaya iklan yang merugikan keuangan negara hingga Rp200 miliar.

Terbaru, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya menetapkan Direktur Utama BJB, Yuddy Renaldi, sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi mark up iklan di bank tersebut. 

Penetapan tersebut menandai babak baru dalam penyelidikan yang telah berjalan selama beberapa pekan ini. KPK menegaskan kasus ini melibatkan indikasi penyimpangan anggaran yang menyebabkan kerugian negara dalam jumlah besar.

Selain Yuddy Renaldi, KPK juga menetapkan Widi Hartoto, Kepala Divisi Corsec sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), sebagai tersangka dari internal BJB. Sementara itu, tiga tersangka lainnya berasal dari pihak swasta, yakni Asikin Dulmanan, Suhendrik, dan Sophan Jaya Kusuma.

"Tersangka ini dua orang dari pejabat Bank Jabar Banten, kemudian tiga orang dari swasta. Dua orang tersebut adalah Saudara YR jabatannya selaku Direktur Utama Bank Jabar Banten, kemudian yang kedua adalah Saudara WH pimpinan Divisi Corsec Bank Jabar Banten," ujar Pelaksana Harian (Plh) Direktur Penyidikan KPK Budi Sokmo Wibowo di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis, 13 Maret 2025.

Menurut KPK, kelima tersangka diduga bersekongkol dalam pengadaan iklan di BJB dengan modus mark-up anggaran serta manipulasi dalam proses lelang. KPK menemukan adanya indikasi penyalahgunaan wewenang dalam proyek ini, yang mengarah pada tindak pidana korupsi.

Kasus Markup Dana Iklan Rp200 Miliar 

Berdasarkan laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada Maret 2024, ditemukan indikasi markup dalam biaya iklan yang menyebabkan kerugian negara hingga Rp200 miliar dalam periode 2021-2023. 

Bank BJB mengalokasikan anggaran iklan sebesar Rp1,15 triliun dalam tiga tahun tersebut, dengan Rp801,5 miliar dikelola oleh Divisi Corporate Secretary (Corsec). Dari jumlah itu, Rp341,8 miliar dialokasikan untuk kerja sama dengan enam agensi periklanan. 

Namun, BPK menemukan adanya praktik markup biaya iklan yang seharusnya Rp200 juta per tayang menjadi Rp400 juta, sehingga mengakibatkan potensi kerugian besar bagi negara.

Sanksi Manipulasi Laporan Keuangan 

Berkaitan dengan kasus dugaan manipulasi laporan keuangan Bank BJB, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memiliki regulasi untuk memastikan keterbukaan informasi yang lebih baik, salah satunya melalui POJK Nomor 31/POJK.04/2015 tentang Keterbukaan Informasi atau Fakta Material oleh Emiten atau Perusahaan Publik.

Aturan ini berfungsi sebagai pagar yang mengamankan kepercayaan publik terhadap pasar modal. Jika ada pihak yang melanggar, OJK memiliki mekanisme sanksi yang cukup tegas, sebagaimana diatur dalam BAB III POJK ini. 

Artikel ini akan mengulas secara lebih dekat tentang berbagai sanksi yang bisa dikenakan kepada emiten yang melanggar ketentuan keterbukaan informasi, serta dampaknya bagi dunia investasi.

Pasal 9: Jenis Sanksi yang Bisa Dikenakan

Ketika sebuah perusahaan terbuka gagal memberikan informasi material sesuai dengan ketentuan, OJK memiliki wewenang untuk memberikan sanksi administratif. Bentuknya beragam, mulai dari yang paling ringan hingga yang paling berat, tergantung pada tingkat pelanggaran. Berikut adalah beberapa sanksi yang dapat dikenakan:

  1. Peringatan tertulis – Sebuah peringatan awal yang mengingatkan emiten agar tidak mengulangi kesalahannya.
  2. Denda – Hukuman berupa kewajiban membayar sejumlah uang tertentu sebagai konsekuensi atas pelanggaran.
  3. Pembatasan kegiatan usaha – Emiten mungkin dibatasi dalam menjalankan aktivitas bisnisnya sebagai bentuk sanksi.
  4. Pembekuan kegiatan usaha – Dalam kasus yang lebih serius, kegiatan usaha emiten bisa dihentikan sementara.
  5. Pencabutan izin usaha – Jika pelanggaran dinilai sangat fatal, OJK bisa mencabut izin usaha emiten tersebut.
  6. Pembatalan persetujuan – Persetujuan yang telah diberikan oleh OJK sebelumnya bisa dicabut sebagai hukuman.
  7. Pembatalan pendaftaran – Dalam situasi tertentu, pendaftaran emiten di pasar modal bisa dibatalkan sepenuhnya.

OJK bisa langsung menjatuhkan sanksi berat seperti denda, pembatasan, atau bahkan pencabutan izin usaha tanpa harus memberikan peringatan tertulis terlebih dahulu. Dengan kata lain, pelanggaran yang serius akan langsung berhadapan dengan konsekuensi besar.

Selain itu, denda juga bisa diberikan bersamaan dengan sanksi lainnya, seperti pembatasan atau pembekuan kegiatan usaha. Ini menunjukkan bahwa sistem pengawasan OJK cukup fleksibel dalam menyesuaikan hukuman dengan tingkat pelanggaran yang terjadi.

Pasal 10: Lebih dari Sekadar Sanksi Administratif

Selain sanksi administratif, OJK juga memiliki kebebasan untuk melakukan tindakan lain terhadap pihak yang melanggar ketentuan keterbukaan informasi. Meskipun tidak dijelaskan secara rinci dalam pasal ini, tindakan yang dapat diambil bisa mencakup pembatasan akses ke pasar modal, evaluasi khusus terhadap emiten, atau tindakan korektif lainnya yang bertujuan untuk menjaga integritas pasar modal.

Pasal 11: Pengumuman Sanksi ke Publik, Efek Jera bagi Pelanggar

Salah satu langkah tegas yang diambil oleh OJK adalah kebijakan untuk mengumumkan sanksi kepada publik. Ini berarti bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh suatu emiten bisa diketahui oleh investor dan masyarakat luas. Dampaknya? Tentu saja, kepercayaan publik terhadap perusahaan tersebut bisa menurun drastis.

Bagi emiten, ini adalah konsekuensi yang sangat serius. Mereka tidak hanya harus menghadapi sanksi administratif, tetapi juga risiko kehilangan reputasi di mata investor. Akibatnya, harga saham bisa anjlok, investor bisa menarik dananya, dan kepercayaan yang telah dibangun bertahun-tahun bisa runtuh dalam sekejap.

Mengapa Ini Penting bagi Emiten dan Investor?

Bagi Emiten: Kepatuhan adalah Kunci Keberlanjutan

Bagi emiten, kepatuhan terhadap aturan keterbukaan informasi bukan hanya soal menghindari sanksi, tetapi juga menjaga kredibilitas di mata investor dan regulator. Pelanggaran keterbukaan informasi dapat mengganggu operasional bisnis dan memperburuk citra perusahaan. Oleh karena itu, memastikan bahwa setiap informasi material disampaikan dengan transparan adalah langkah strategis untuk mempertahankan kepercayaan pasar.

Bagi Investor: Perlindungan dari Informasi yang Menyesatkan

Sementara itu, bagi investor, aturan ini memberikan perlindungan dari risiko investasi yang berasal dari informasi yang tidak akurat atau disembunyikan. Dengan adanya ketentuan ini, investor dapat membuat keputusan berdasarkan data yang valid dan terpercaya. Pengumuman sanksi kepada publik juga memberikan wawasan tambahan bagi investor dalam menilai apakah suatu perusahaan layak untuk dijadikan tempat investasi.

Sebagai contoh, PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk (Bank BJB) menjadi sorotan setelah munculnya dugaan kasus korupsi dalam markup dana iklan senilai Rp200 miliar, yang mana tentunya markup tersebut akan berpengaruh kepada ketidaksesuaian di laporan keuangan. 

Sebelum kasus ini mencuat, Bank BJB terlebih dahulu dilaporkan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Gerakan Rakyat Peduli Keuangan Negara terkait dugaan kejanggalan dalam laporan keuangan tahun 2021. 

Pada Agustus 2024, LSM Gerakan Rakyat Peduli Keuangan Negara yang diketuai oleh Evert Nunuhitu melaporkan dugaan penyimpangan senilai Rp219 miliar dalam laporan keuangan Bank BJB tahun buku 2021. 

Dugaan ini mencakup perbedaan pencatatan dividen sebesar Rp14,39 miliar dan selisih dalam pencadangan kerugian kredit sebesar Rp204,7 miliar. 

Dalam laporan arus kas konsolidasi perusahaan, pembayaran dividen kas tercatat sebesar Rp941,97 miliar, tetapi dalam laporan ekuitas konsolidasian hanya Rp927,58 miliar. 

Selisih Rp14,39 miliar tersebut kemudian dimasukkan ke dalam pos pemasukan kepentingan non-pengendali.  Selain itu, terdapat ketidaksesuaian dalam pencatatan beban penyisihan kerugian penurunan nilai, di mana laporan laba rugi mencatat Rp587,75 miliar, sementara total cadangan kerugian penurunan nilai mencapai Rp792,47 miliar. 

\Menanggapi tuduhan tersebut, Bank BJB melalui Divisi Hukum yang dipimpin oleh Boy Panji menegaskan bahwa laporan keuangan mereka telah mengikuti standar akuntansi keuangan (SAK) yang berlaku. 

Laporan tersebut juga telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik yang terdaftar di OJK dan telah mendapat persetujuan dari BEI.