Bagikan:
Bagikan:
JAKARTA - Menjelang akhir kuartal pertama 2025, tekanan jual yang sempat menekan harga Bitcoin (BTC) mulai mereda. Mata uang kripto terbesar ini kembali menunjukkan tanda-tanda pemulihan, berhasil menembus level psikologis penting di US$85.000.
Pada Selasa, 25 Maret 2025 pukul 08.00 WIB, Bitcoin tercatat berada di level US$87.600, mengalami kenaikan 1,86% dalam 24 jam terakhir serta melonjak 4,30% dalam sepekan terakhir.
Salah satu faktor yang mendukung rebound Bitcoin adalah meningkatnya arus masuk ke ETF Bitcoin spot di Amerika Serikat. Setelah lima pekan berturut-turut mengalami arus keluar, pekan lalu tercatat pembelian sebesar 8.775 BTC atau setara dengan US$744 juta. Hal ini mencerminkan kembali tumbuhnya kepercayaan investor terhadap aset kripto.
Selain itu, indeks Fear and Greed juga mengalami peningkatan dari 32% menjadi 45%, mendekati zona netral. Perubahan ini menunjukkan bahwa sentimen pasar mulai membaik, dengan investor yang kembali berani mengambil risiko lebih besar.
Menurut Financial Expert Ajaib, Panji Yudha, salah satu faktor yang menjadi perhatian utama investor dalam waktu dekat adalah rilis laporan Personal Consumption Expenditures (PCE) Index pada Jumat, 28 Maret. PCE Index merupakan indikator inflasi yang menjadi acuan utama Federal Reserve dalam menentukan kebijakan suku bunga.
Jika laporan inflasi menunjukkan perlambatan seperti yang diperkirakan banyak analis, maka peluang The Fed untuk melonggarkan kebijakan moneternya semakin besar. Berdasarkan data dari alat prediksi FedWatch, kemungkinan pemangkasan suku bunga di semester pertama 2025 cukup tinggi, dengan pertemuan FOMC pada bulan Juni menjadi momen krusial.
Data historis dari Coinglass menunjukkan bahwa performa Bitcoin di kuartal pertama sangat bervariasi. Rata-rata return BTC pada kuartal I sejak 2013 mencapai +51,61%, namun nilai median-nya menunjukkan -1,46%. Artinya, meskipun ada tahun-tahun dengan lonjakan besar, tekanan jual di awal tahun juga sering terjadi.
Pada kuartal I 2025, Bitcoin mengalami koreksi sebesar -6,62%, jauh lebih kecil dibandingkan dengan kuartal I 2018 (-49,7%) dan kuartal I 2020 (-10,83%). Meskipun masih mencatatkan performa negatif, data historis menunjukkan bahwa bulan Maret sering kali menjadi periode pemulihan bagi Bitcoin.
Dalam lima dari tujuh tahun terakhir, Bitcoin mengalami kenaikan di bulan Maret, termasuk lonjakan +16,81% pada 2024 dan +22,96% pada 2023.
“Jika pola ini berlanjut, ada kemungkinan bahwa Bitcoin bisa menutup Maret 2025 dengan rebound yang lebih kuat, terutama dengan dukungan arus masuk ke Bitcoin-ETF dan sentimen pasar yang mulai membaik,” ujar Panji melalui hasil riset yang diterima TrenAsia, dikutip Rabu, 26 Maret 2025.
Jika melihat tren historis, kuartal kedua sering kali menjadi periode yang lebih positif bagi Bitcoin. Sejak 2013, rata-rata return BTC pada kuartal II adalah +26,89%, dengan nilai median +7,38%. Bahkan, pada tahun-tahun tertentu seperti 2019 (+159,36%) dan 2017 (+123,86%), Bitcoin mengalami lonjakan signifikan.
Beberapa faktor yang dapat mendorong kinerja Bitcoin di kuartal II 2025 antara lain meningkatnya arus masuk ke Bitcoin-ETF, potensi pelonggaran kebijakan moneter The Fed, serta stabilisasi pasar global.
Namun, investor juga perlu mencermati dampak dari kebijakan tarif Amerika Serikat yang akan berlaku mulai 2 April, serta perkembangan regulasi terkait ETF berbasis altcoin yang dapat mempengaruhi dinamika pasar kripto secara keseluruhan.
Meskipun Bitcoin masih mencatatkan kinerja negatif di kuartal I 2025, tekanan jual mulai berkurang dan tanda-tanda pemulihan mulai terlihat. Dengan kombinasi faktor-faktor eksternal yang mendukung, kuartal kedua berpotensi menjadi periode yang lebih positif bagi BTC.
Kendati demikian, investor tetap disarankan untuk waspada terhadap volatilitas pasar sembari memanfaatkan peluang yang muncul di dunia aset kripto.