Bagikan:
Bagikan:
JAKARTA– Di tengah tekanan pasar saham yang masih lesu, bank-bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) hadir dengan kabar menggembirakan bagi investor. Empat Bank Himbara telah resmi mengumumkan pembagian dividen tahun buku 2024 dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) yang digelar pada 24-26 Maret 2025.
Hasilnya, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) menawarkan dividend yield di atas 9%. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan kupon obligasi yang ditawarkan pemerintah.
BBRI atau biasa dikenal BRI mencatat rekor pembagian dividen terbesar sebesar Rp51,74 triliun, atau 85,32% dari laba bersih 2024 yang mencapai Rp60,64 triliun. Dividen ini terdiri dari dua tahap: Rp135 per saham yang dibagikan sebagai dividen interim pada Januari 2025, dan Rp208,40 per saham sebagai dividen final.
Dengan harga saham Rp3.610 pada penutupan RUPST, investor mendapatkan dividend yield sebesar 9,51%. Presentase ini menunjukkan bahwa dividen yield yang ditawarkan BRI lebih tinggi dua persenan dibanding Surat Utang Negara (SUN).
Jika BBRI unggul dalam rasio dividen, emiten berkode BMRI mencatat dividend yield tertinggi, yakni 9,83%. Angka ini mengacu pada harga saham Bank Mandiri yang ditutup di Rp4.740 per saham pada hari pelaksanaan RUPST.
Asal tahu saja, bank pelat merah yang menggunakan logo emas ini membagikan dividen Rp43,5 triliun atau 78% dari laba bersih Rp55,78 triliun. Dengan demikian, setiap pemegang saham BMRI menerima Rp466,18 per saham.
Sementara itu, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) membagikan dividen tunai Rp13,95 triliun, atau 65% dari laba bersih Rp21,46 triliun. Dividen sebesar Rp374,05 per saham ini memberikan yield 8,80% kepada investor, berdasarkan harga saham BNI yang ditutup di Rp4.250 per saham.
Meski lebih rendah dibanding Mandiri dan BRI, rasio pembagian dividen emiten perbankan yang identik warna oranye ini dinilai seimbang untuk mendukung ekspansi kredit korporasi dan internasional.
Berbeda dengan ketiga rekannya, PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) memilih kebijakan konservatif dengan membagikan hanya 25% laba bersihnya, yakni Rp751,83 miliar. Dividen Rp53,57 per saham ini menghasilkan yield 5,98%, mengacu pada harga saham BTN di Rp895 per saham.
Langkah ini diambil untuk memperkuat modal dalam mendanai program KPR bersubsidi, yang menjadi tulang punggung bisnis perseroan.
Kebijakan dividen agresif BRI dan Mandiri mendapat apresiasi dari kalangan analis. Arianto Muditomo, pengamat perbankan, menyebut rasio dividen di atas 75% menunjukkan kepercayaan manajemen terhadap stabilitas laba.
Namun, ia mengingatkan bahwa payout ratio setinggi 85% pada BRI berisiko mengurangi cadangan modal jika kinerja bank terganggu. "Dividen besar bisa jadi pisau bermata dua. Jika laba turun, bank akan kesulitan mempertahankan rasio ini tanpa menggerus modal," ujarnya.
Di sisi lain, Dimas Krisna Ramadhani, analis Indo Premier Sekuritas, melihat imbal hasil 9-10% dari Mandiri dan BRI sebagai daya tarik utama. "Yield ini jauh di atas imbal hasil SUN yang hanya 6-7%. Saham bank BUMN bisa jadi alternatif menarik bagi investor yang mencari pendapatan rutin," paparnya.
Namun, ia menekankan pentingnya memantau faktor risiko seperti tekanan net interest margin (NIM) dan potensi kenaikan kredit bermasalah (NPL). Pasalnya, aspek ini menjadi fundamental dalam industry perbankan.
Meski dividen menggiurkan, saham bank BUMN masih terjebak dalam tekanan jual year-to-date (YtD). Hingga Maret 2025, saham BBTN tercatat anjlok 25,63%, disusul BBRI yang turun 11,11%, BBNI 7,84%, dan BBRI 4,75%. Kinerja ini mencerminkan kekhawatiran investor atas tingginya payout ratio dan ketatnya persaingan di sektor perbankan.
Samuel Sekuritas dalam catatannya menilai bank BUMN masih menghadapi tantangan struktural. "BRI berisiko terdampak restrukturisasi kredit mikro, sementara Mandiri perlu waspada dengan eksposur kredit komersial. BTN dan BNI juga tidak luput dari tekanan biaya dana," tulis analis Prasetya Gunadi dan Brandon Boedhiman.