Kembali ke Era Orde Baru

16 April, 2025 07:01 WIB

Penulis:Andi Reza Rohadian

Editor:Ananda Astridianka

Screenshot (1783).png
Kapolri , Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam keterangan persnya usai mengikuti Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Senin 11 Desember 2023.

27 tahun setelah reformasi yang menumbangkan Orde Baru kualitas demokrasi Indonesia bukannya meningkat. Setelah pengesahan UU TNI yang ditengarai mengembalikan kekuasaan militer ke zaman pemerintahan Soeharto, kini giliran Polri menerbitkan Peraturan Polri (Perpol) Nomor 3 Tahun 2025 tentang Pengawasan Terhadap Orang Asing. 

Melalui beleid anyar ini,  Korps Bhayangkara yang saat ini juga sedang menyusun RUU Polri, memiliki kewenangan luas untuk memantau jurnalis dan peneliti asing.

Hal itu tertuang dalam Pasal 5 Ayat 1 Huruf B, yang berbunyi:
"Penerbitan surat keterangan kepolisian terhadap orang asing yang melakukan kegiatan jurnalistik dan penelitian pada lokasi tertentu."

Sontak Dewan pers menilai perpol itu sebagai kontrol dan pengawasan terhadap kerja jurnalis. "Berdasarkan hal tersebut, Dewan Pers berpandangan bahwa Perpol 3/2025 secara substantif potensial melanggar prinsip-prinsip pers yang demokratis; profesional; independen; menjunjung tinggi moralitas dan mengedepankan asas praduga tidak bersalah," ujar ketua Dewan Pers Ninik Sri Rahayu.

Dewan Pers juga menilai peraturan ini bermasalah karena kurangnya partisipasi publik dalam penyusunannya. Selain itu, peraturan ini dinilai bertentangan dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan UU Nomor 32 Tahun 2022 tentang Penyiaran.

Kapolri Listro Sigit Widodo sendiri menyatakan bahwa aturan itu diperlukan demi menjaga kedaulatan negara dan perlindungan warga negara asing. Dan untuk itu tidak ada kewajiban bagi jurnalis asing untuk membuat surat keterangan dari kepolisian (SKK).

"Jika tidak ada permintaan dari penjamin, SKK tidak bisa diterbitkan. SKK tidak bersifat wajib bagi jurnalis asing," ujar Kapolri Sigit Listyo Widodo pekan lalu.

Dia menjelaskan peraturan tersebut dimaksudkan sebagai bentuk pelayanan dan perlindungan. Khususnya,”WNA seperti para jurnalis asing yang sedang bertugas di seluruh Indonesia, misalkan di wilayah rawan konflik," ujarnya.

Bagaimana implementasi perpol itu memang masih harus ditunggu. Yang pasti, perpol itu sesungguhnya menambah peraturan yang membebani  wartawan asing untuk meliput di Indonesia.

Jangan salah, selama ini jurnalis manca negara yang ingin membuat berita tentang negeri ini wajib mendapatkan persetujuan dari 18 kementerian dan lembaga atau yang dikenal sebagai clearing house. 

Clearing house diatur dalam Peraturan Menkominfo 42/2009 yang merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Tergabung dalam clearing house, diantaranya BIN [Badan Intelijen Negara], BAIS [Badan Intelijen Strategis], Kementerian Dalam Negeri dan Polri.

Hal itu juga berlaku bagi peneliti asing. Bedanya, clearing house untuk peneliti asing berpusat di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Sebelum masuk ke Indonesia, jurnalis asing juga mesti mengajukan visa kunjungan jurnalistik ke kedutaan besar atau konsulat jenderal terdekat di lokasinya. Mereka juga wajib melampirkan "sinopsis liputan", daftar narasumber yang akan diwawancara, lokasi liputan, jadwal perjalanan, dan penjamin. Singkat kata, proses untuk mendapatkan izin liputan itu makan waktu berbulan-bulan.

Kulitas Kebebasan Pers Memburuk

Kian sulitnya prosedur wartawan luar negeri meliput di Indonesia menunjukkan kebebasan pers yang memburuk. Survei Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) yang dirilis Dewan Pers pada awal tahun ini mencatat penurunan angka indeks, dari 71,57 pada 2023 menjadi 69,36 pada 2024. Penurunan ini juga cukup tajam bila dibandingkan dengan angka indeks pada 2022 yang mencapai 77,88.

Sementara itu organisasi dunia Reporters Without Borders menempatkan Indonesia di posisi ke-111 dari 180 negara yang disurvei pada 2024. Posisi ini lebih buruk dari tahun sebelumnya, yang menempatkan Indonesia di posisi ke-108.

Betul, jika dibandingkan dengan Myanmar kebijakan pemerintah terhadap wartawan asing masih lebih baik. Di Myanmar wartawan asing bahkan dilarang masuk untuk meliput gempa bumi yang baru saja melanda.

Kendati begitu, tak berlebihan jika kebijakan pemerintah saat ini disebut  condong kembali ke masa Orde Baru. Sekadar mengingatkan di era kepemimpinan Soeharto selama 32 tahun wartawan asing pun tak bebas meliput di tanah air.

Salah seorang diantaranya adalah David Jenkins dari Australia. Ia dicekal masuk Indonesia gara-gara artikelnya di The Sidney Morning Herald berjudul “Suharto and his Generals”. Intinya artikel ini berisi pandangan sang jurnalis senior yang tak setuju dengan Dwifungsi ABRI. Konsep itu tidak dikenal dalam sistem politik di Australia.

Saking berangnya, Soeharto juga menolak wartawan Australia di Gedung Putih yang ikut rombongan Presiden AS Ronald Reagan ke pertemuanya dengan para pemimpin ASEAN di Bali, Maret 1986. Mereka langsung dideportasi begitu rombongan Reagan masuk ke Pertamina Cottages.

Panglima ABRI Jenderal LB Moerdani bahkan turun langsung ke landasan Bandara Nurah Rai, menyeleksi wartawan Gedung Putih yang berpaspor Australia.

Pencekalan terhadap wartawan Australia baru cair saat Konferensi APEC di Jakarta tahun 1994.

Cekal bagi Peneliti Orang Utan 

Bukan hanya isu politik yang membuat pemerintah RI gerah. Urusan penelitian pun menjadi hal yang sensitif, setidaknya bagi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). 
Dua tahun silam KLHK menerbitkan surat perintah eksekutif kepada seluruh unit pelaksana teknis (UPT) Ditjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem untuk menertibkan para peneliti asing yang dianggap tidak taat aturan.  
Perintah eksekutif itu ditujukan terhadap peneliti asing atas nama Erik Meijaard dkk yang meneliti satwa liar di indonesia. Mereka dinilai mengabaikan UU Nomor 11 tahun 2019 tentang Perizinan Melakukan Kegiatan Penelitian dan Pengembangan Bagi Perguruan Tinggi Asing, Lembaga Penelitian dan Pengembangan Asing, Badan Usaha Asing dan Orang Asing. 
Erik dan timnya ditengarai tidak memenuhi ketentuan dalam menjalin kemitraan dalam negeri; mekanisme kerjasama dengan mitra peneliti lokal tidak transparan; serta tidak melaporkan berbagai hasil penelitiannya.
Erik Meijaard kena cekal bersama  Julie Sherman, Marc Ancrenaz, Hjalmar Kuhl dan Sarge Wich. Mereka terkena larangan setelah menerbitkan artikel di harian The Jakarta Post soal orang utan.

Dalam artikel itu, Meijaard mengkritik Menteri KLHK, Siti Nurbaya yang mengklaim tiga spesies orang utan tapanuli, orang utan sumatra, dan orang utan kalimantan jauh dari kata punah. Padahal menurut Meijaard, data yang ada menunjukkan sebaliknya.

Meijaard merupakan Honorary Professor di University of Queensland dan di Durrell Institute of Conservation and Ecology University of Kent. Selain itu, Meijaard juga memegang gelar Doctor of Philosophy.

Akan halnya Julie Sherman merupakan ilmuwan yang fokus kepada konservasi dan keragaman hayati. Sejauh ini, sudah ada 27 publikasi yang telah diterbitkan atas namanya, termasuk artikel yang dikerjakan bersama Meijaard.

Artikel tersebut berjudul Envisioning a future for Bornean orang utans: Conservation impacts of action plan implementation and recommendations for improved population outcomes.

Sedangkan Serge Wich adalah pemegang gelar PhD dan punya afiliasi dengan Liverpool John Moores University. Ia telah mempublikasikan 359 publikasi ilmiah. Serupa dengan Meijaard dan Sherman, bidang keahilan Serge ada di soal evolusi, konservasi, dan ekologi binatang.

Pelarangan terhadap jurnalis dan peneliti asing sungguh disayangkan. Jika pemerintah tidak berkenan dengan artikel atau hasil penelitian semestinya menerbitkan artikel tandingan yang lebih jelas dan masuk akal. Dan yang lebih penting, bekerjalah dengan benar dan tidak manipulatif.