Bagikan:
Bagikan:
JAKARTA - Ketegangan ekonomi antara dua kekuatan besar dunia, Amerika Serikat (AS) dan China, kembali memanas. Hari ini, Kamis, 10 April 2025, Presiden AS Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif yang lebih agresif terhadap China.
Tarif atas produk-produk asal Negeri Tirai Bambu akan naik dari 104% menjadi 125%, sebagai langkah lanjutan dari strategi proteksionisme yang digencarkan pemerintah AS.
Namun di balik dinamika kebijakan perdagangan, pertarungan sebenarnya justru terjadi di arena industri dan pasar keuangan global. Siapa yang lebih unggul dalam kompetisi ini? Mari kita bandingkan.
China masih sangat bergantung pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang menguasai lebih dari 60% kapitalisasi pasar dan menyumbang sekitar 40% Produk Domestik Bruto (PDB).
Pada tahun 2020, sebanyak 91 BUMN China masuk dalam daftar Fortune Global 500, mencerminkan skala dan jangkauan bisnis negara yang begitu masif.
Sebaliknya, Amerika Serikat mengandalkan sektor swasta sebagai mesin utama perekonomian. Lebih dari 80% aktivitas ekonomi nasional digerakkan oleh korporasi swasta dan investasi institusional, mulai dari startup hingga raksasa teknologi global. Sistem ini menunjukkan efisiensi dan daya saing yang tinggi.
AS tetap menjadi pusat inovasi dunia. Investasi masif di bidang teknologi, kecerdasan buatan (AI), dan bioteknologi terus mendorong pertumbuhan jangka panjang. Perusahaan seperti Apple, Microsoft, dan Tesla menjadi simbol keunggulan teknologi AS.
Namun China bukan tanpa taring, negara ini mencatat kemajuan signifikan dalam sektor kendaraan listrik, energi terbarukan, dan infrastruktur digital.
Dengan kecepatan adopsi dan eksekusi tinggi, China mulai menyaingi AS dalam paten teknologi strategis, meski inovasi orisinal masih didominasi Amerika.
Berdasarkan data sensus penduduk yang dikeluarkan pemerintah China, negeri tirai bambu tersebut memiliki populasi sekitar 1,425 miliar jiwa pada tahun 2024.
Namun, China menghadapi risiko jangka panjang berupa krisis demografi. Populasinya menurun sebesar 1,39 juta jiwa pada 2024, sementara jumlah penduduk usia lanjut mencapai 310 juta orang atau 22% dari populasi.
Tingkat kematian yang naik ke angka 7,76% memperdalam kekhawatiran terhadap beban sosial dan fiskal masa depan. Hal ini bila terus terjadi tentunya akan berpengaruh pada ketersediaan tenaga kerja yang akan menyuplai kebutuhan Industri di masa depan.
Di sisi lain, AS masih menunjukkan pertumbuhan populasi, berkat angka kelahiran yang stabil dan arus imigrasi. Kondisi ini memberikan AS keunggulan dalam mempertahankan pasar tenaga kerja yang dinamis dan konsumsi domestik yang kuat. Hingga tahun 2024, jumlah penduduk AS berkisar diangka 340 juta jiwa
Dalam ranah keuangan, AS masih memegang dominasi global. Dolar AS mendominasi 60% cadangan devisa dunia. Bursa saham NYSE dan NASDAQ mencatat kapitalisasi pasar gabungan lebih dari US$39 triliun, menjadikannya pusat keuangan internasional yang tak tergantikan.
China memang mendorong dedolarisasi lewat kerja sama BRICS dan promosi yuan digital, namun pengaruhnya dalam sistem moneter global masih terbatas.
Sistem keuangan China juga dinilai kurang transparan dan lebih tertutup dibanding AS yang memiliki sistem hukum kuat dan akses modal terbuka.
Pertanyaan siapa yang menang tidak bisa dijawab semata dengan angka PDB atau nilai ekspor. Kompetisi ini mencakup struktur ekonomi, kekuatan inovasi, daya tahan sosial, dan pengaruh geopolitik.
China unggul dalam hal skala industri dan efektivitas kebijakan jangka panjang. Tapi Amerika Serikat masih memimpin dalam hal inovasi, stabilitas keuangan, dan daya tarik investasi global.
Dunia sedang menuju tatanan multipolar. Alih-alih saling mengalahkan, kedua negara besar ini tampaknya akan terus bersaing sekaligus saling mengimbangi, membentuk keseimbangan baru dalam peta kekuatan ekonomi global.