logo
Ikuti Kami di:

Airlangga Sebut Tarif AS Buka Peluang Ekspor Indonesia Rebut Pasar Global

Airlangga Sebut Tarif AS Buka Peluang Ekspor Indonesia Rebut Pasar Global

Wisma BNI 46 menjadi simbol gedung-gedung pencakar langit di Jakarta / Shutterstock

undefined
Muhammad Imam Hatami09 April, 2025 00:05 WIB

JAKARTA - Ketika Amerika Serikat resmi memberlakukan tarif resiprokal sebesar 32% untuk berbagai produk asal Indonesia mulai April 2025, banyak pihak sempat khawatir bahwa langkah ini akan menghambat laju ekspor nasional. 

Namun Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto justru melihat celah strategis di balik tantangan tersebut. Sebuah peluang besar untuk mengakselerasi ekspor produk padat karya dan merebut pangsa pasar dari negara-negara pesaing yang kini dikenai tarif lebih tinggi.

"Penetrasi pasar ini bermanfaat besar bagi ekonomi Indonesia karena memiliki multiplier effect besar secara penciptaan lapangan kerja untuk sektor padat karya," papar Airlangga dalam acara Sarasehan Ekonomi Bersama Presiden Republik Indonesia di Jakarta, Selasa, 31 Januari 2025.

Airlangga menegaskan bahwa produk-produk padat karya seperti pakaian dan alas kaki berpotensi menjadi ujung tombak ekspor ke pasar Amerika Serikat. 

Produk tersebut, menurutnya, tidak termasuk dalam kategori strategis bagi AS, sehingga ruang negosiasi tarif relatif lebih terbuka. Di sisi lain, tarif 32% yang dikenakan kepada Indonesia masih lebih rendah dibanding beberapa negara pesaing utama. 

Vietnam dikenai tarif sebesar 46%, Bangladesh 37%, dan Kamboja 49%. Artinya, produk Indonesia masih punya daya saing harga yang cukup kuat di pasar AS, terutama untuk konsumen yang sensitif terhadap harga.

"Peluang Indonesia untuk take over karena beberapa negara Vietnam, Bangladesh, Thailand, China yang rate resiprokal dari AS itu lebih tinggi," papar Airlangga.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menambahkan bahwa peningkatan ekspor produk padat karya tidak hanya berkontribusi terhadap neraca perdagangan, tetapi juga berdampak langsung terhadap penciptaan lapangan kerja. 

Produk padat karya dikenal mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Pemerintah memperkirakan, jika Indonesia berhasil merebut 10% pangsa pasar dari negara-negara pesaing yang kini tarifnya lebih tinggi, maka potensi tambahan devisa bisa mencapai US$6,4 miliar per tahun.

Dari sisi volume ekspor, posisi Indonesia saat ini masih di bawah negara-negara seperti Vietnam, Bangladesh, dan China. Artinya, masih terbuka ruang yang sangat besar untuk pertumbuhan. 

Nike Minta Bertemu Pemerintah

Momentum ini diperkuat oleh meningkatnya ketertarikan dari pelaku industri global. Perusahaan besar seperti Nike bahkan telah mengajukan permintaan untuk bertemu langsung dengan pemerintah Indonesia, menandakan sinyal positif dari para investor terhadap daya tarik Indonesia sebagai pusat produksi alternatif di Asia.

"Beberapa perusahaan besar seperti Nike bahkan telah meminta pertemuan daring langsung dengan pemerintah Indonesia. Ini menunjukkan ketertarikan industri global untuk bermitra dengan kita," ungkap Airlangga.

Tak hanya sektor pakaian dan alas kaki, peluang ekspansi juga terbuka di sektor lain seperti elektronik ringan, komponen otomotif, dan produk tekstil rumah tangga. Banyak dari produk ini sebelumnya didominasi oleh China dan Vietnam yang kini menghadapi tarif lebih tinggi. 

Namun, persaingan tetap ketat karena beberapa negara seperti Filipina (17%), Malaysia (24%), Korea Selatan (25%), dan India (26%) masih dikenai tarif lebih rendah dari Indonesia. Oleh karena itu, strategi bersaing lewat kualitas, efisiensi pengiriman, dan optimalisasi biaya produksi menjadi sangat penting.

Untuk mendukung hal tersebut, pemerintah Indonesia tengah menyiapkan paket reformasi struktural yang mencakup penyederhanaan perizinan usaha dan logistik ekspor-impor, revisi aturan non-tarif seperti kewajiban Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan sertifikasi halal, serta harmonisasi tarif bea masuk dan pajak impor terhadap bahan baku produksi.

Langkah-langkah ini ditujukan untuk menurunkan biaya produksi, memangkas birokrasi, dan mempercepat ekspansi industri berbasis ekspor.

Dengan kombinasi kebijakan adaptif, dukungan industri, dan kesiapan logistik nasional, Indonesia memiliki peluang besar untuk mengubah krisis tarif menjadi momentum kebangkitan.